Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l.,
diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8 -05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Demikianlah naskah kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung Karno pada 17 Agustus 05. Kenapa bukan ditulis tahun 1945 di naskah asli tersebut? Itu karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.
Kalau kita baca teks kemerdekaan RI tersebut, nyaris hanya 3 baris: sama sekali tidak mencerminkan penderitaan rakyat Indonesia yang dijajah selama 350 tahun. Ini pun diakui sendiri oleh Soekarno, sebagaimana dikutip dalam buku Penyambung Lidah Rakyat (1966) karya Cindy Adams:
“Proklamasi itu pendek saja. Melihat sifat kata-katanya, ia menggambarkan pernyataan yang umum. Ia tidak menjeritkan keluhan kepedihan ataupun kemiskinan. Bagaimana mungkin kami di saat itu bisa mencari kata-kata yang cukup pedih untuk mengingatkan orang pada pengorbanan yang tak ada taranya dari ribuan tubuh yang bergelimpangan dalam kuburan-kuburan tak dikenal di Boven Digul. Kami bahkan tidak mencoba mencari kata-kata demikian itu.” (Mawardi, Koran Tempo, 16/08/2011)
Teks kemerdekaan, selain dirumuskan dalam keadaan tergesa-gesa, dituliskan oleh pena yang Soekarno sendiri sudah lupa pena itu dipinjam dari siapa. Teks aslinya setelah dibacakan dibuang ke tempat sampah, kemudian ditemukan oleh wartawan dan diserahkan kepada Soeharto setelah menyimpan lebih dari 46 tahun (sumber dari sini).
Teks kemerdekaan RI sangat sederhana, bukan saja tidak mewakili penderitaan rakyat yang telah lama dijajah, tetapi juga dari bahasa yang digunakan. Bahasanya umum, tidak bertele-tele, dan berusaha menjaga jarak dari bahasa-bahasa perasaan. Bayangkan jika yang diminta menyusun adalah W.S. Rendra tentu bahasanya akan sangat puitis, penuh bahasa-bahasa perasaan, dan pasti sangat panjang. Apalagi jika yang menyusun adalah sekelas kita-kita para Kompasianer, wah bakal membahas apa saja teks kemerdekaan itu. Bisa melebar kemana-mana, dari mulai rasa merdeka, definisi, dan segala macam. Apalagi kalau yang menyusun adalah pejabat yang biasa menyusun pidato presiden. Bisa jadi seperti teks pidato kenegaraan sekarang yang teks 1 kali pidato bisa dijadikan buku.
Bahasa merupakan alat ekspresi, ungkapan perasaan, dan wakil dari pemikiran manusia. Kenapa teks kemerdekaan tidak menggunakan fungsi bahasa itu? Goenawan Muhammad menulis: “Pilihan bahasa dan keringkasan menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan keputusan di tengah-tengah ketidakpastian. Proklamasi tidak mengandaikan program sudah jadi (paripurna).”
Tidak hanya itu, bahasa yang singkat dalam teks kemerdekaan RI adalah karena bahasa tidak pernah mampu mendeksripsikan realitas yang sebenarnya. Bahasa tidak bisa mendeskripsikan, misalnya kata “bahagia”. Kata bahagia adalah kata yang mewakili perasaan bahagia, padahal perasaan bahagianya lebih besar dan kadang tidak bisa dideskripsikan oleh kata-kata. Bahasa pun tidak pernah bisa mendeskripsikan kata “sedih”. Kata itu hanya mewakili sedikit saja perasaan sedih yang dialami manusia. Perasaannya sendiri tidak pernah terwakili oleh kata-kata. Meskipun sudah menggunakan kata-kata puitis dan deskripsi yang lengkap: hati yang kecewa, perih, pedih, dan sebagainya, tetap saja tidak bisa mewakili perasaan sedih yang sedang manusia alami.
Bahasa juga kadang menipu, terlalu berlebihan dalam mendeskripsikan sesuatu. Sudjiwo Tejo pernah mengungkapkan, bahwa rakyat Indonesia sesungguhnya tidak pernah benar-benar bersedih. Selalu saja ada senyum dalam kesedihan. Di saat nangisnya pun, isak tangis bangsa Indonesia masih memuat kegembiraan, mendayu-dayu mengandung ritme lagu. Tidak seperti di budaya masyarakat padang pasir misalnya, bersedih ditunjukkan dengan menangis, menjerit-jerit dan memukuli kepala. Namun ketika sastrawan dan penulis cerita kita menulis tentang kesedihan masyarakat kita, cenderung berlebihan. Ini pun bukti bahwa bahasa tidak sesuai dengan realitasnya.
Dengannya, Soekarno dan Hatta adalah sangat terdidik, sangat pintar, sudah mampu memikirkan keterbatasan bahasa. Naskah kemerdekaan dibuat tanpa bahasa perasaan. Nyaris berbeda dengan kebiasaan keduanya dalam menulis ataupun berpidato. Lihat saja tulisan-tulisan Soekarno atau pidato-pidatonya. Beliau adalah penulis dan orator ulung, retorika dan bahasanya tidak diragukan. Begitu juga dengan Hatta. Tetapi berbeda jauh ketika menggagas naskah kemerdekaan. Inilah bukti keluhuran dan kecerdikan mereka sebagai the founding father.**[harja saputra]
Dimuat juga di Kompasiana: http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/17/inilah-rahasia-kenapa-teks-kemerdekaan-ri-sangat-singkat/