Categories: Polhukam

BUMN Sapi Perah Parpol?

Illustrasi: Shutterstock (Admin kompasiana.com)

Jum’at kemarin (05 Agustus) di Metro TV disiarkan talkshow dengan tema “BUMN Sapi Perah Parpol”. Acara itu diawali dengan video testimoni Nazaruddin melalui Skype yang membeberkan sejumlah dugaan keterlibatan orang-orang partai dalam proyek-proyek BUMN seperti proyek Hambalang, proyek PLN, dan proyek Wisma Atlet. Meskipun testimoni Nazaruddin tersebut sesungguhya masih berupa hipotesis belum sebagai fakta hukum, yang harus dibuktikan kebenarannya. Tingkat kevalidannya masih fifty-fifty.

Said Didu, mantan Sekretaris Meneg BUMN, yang menjadi salah satu pembicara pada acara tersebut menjelaskan mengenai motif sapi perah terhadap BUMN. Menurutnya, parpol memerah BUMN bisa dengan modus di saat BUMN sebagai penyedia anggaran dan bisa juga di saat BUMN sebagai vendor dari penyediaan barang/jasa dari proyek-proyek pemerintah.  Dengannya ada tiga pihak yang terlibat dalam modus ini: pemerintah sebagai penyedia proyek, BUMN, dan parpol.

Sebelum mempertanyakan hal itu, kredibilitas dari narasumber perlu kita pertanyakan terlebih dahulu. Siapa itu Said Didu? Semua orang juga tahu kalau Said Didu itu mantan Sesmeneg BUMN. Bukan di situ kata kuncinya. Tetapi coba di-search di Google Said Didu menjabat sebagai Komisaris di BUMN mana saja. Berapa banyak ia menjabat sebagai Komisaris. Pasti akan ditemukan Said Didu menjabat lebih dari satu jabatan Komisaris di BUMN, bisa dua, bisa tiga, atau bahkan lebih ketika ia masih menjabat sebagai sesmeneg. Jika demikian, apakah Said Didu termasuk ke dalam orang-orang barisan sakit hati? Saya tidak berani menilai, pembacalah yang harus menilai. Pertanyaan selanjutnya, jika demikian, apakah jika menjabat lebih dari satu Komisaris di BUMN tidak bisa disebut sebagai pemerah BUMN?

Saya mengetahui hal itu karena memiliki data primer mengenai posisinya di beberapa BUMN, karena selama dua tahun menjadi Tenaga Ahli Anggota DPR Komisi VI (Komisi yang memiliki mitra kerja dengan seluruh BUMN).

Kembali ke permasalahan inti, benarkah BUMN sebagai sapi perah parpol? Jawabannya pun fifty-fifty karena ini sudah menyangkut ranah hukum. Jangan sampai permasalahan hukum lantas kita berani men-judge hal itu lebih dini. Hal ini bisa meruntuhkan sendi-sendi dasar dari negara kita sebagai negara hukum. Oh, lantas dijawab, meskipun tidak terbukti secara hukum tetapi praktek itu bukan berarti tidak ada. Betul, jika logika yang digunakan adalah logika konspirasi. Harus dicari fakta hukum yang bisa membuktikan hal tersebut. Di negara Amerika, sebagai kiblat dari demokrasi dan negara hukum bahkan di seluruh negara demokrasi yang ada, semua dugaan-dugaan harus dibuktikan fakta hukumnya. Karena jika dugaan lantas dijadikan sebagai judgement akan banyak ribuan orang yang menjadi korban. Setiap orang bisa mengucilkan atau menyingkirkan orang lain hanya karena dugaan. Ini tidak sehat.

Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri juga, banyak BUMN yang justru memerah negara. Kenapa demikian? Di Komisi VI sudah menjadi langganan untuk membahas masalah BUMN-BUMN yang bermasalah. BUMN terkadang menggampangkan untuk merugi, toh jika merugi tinggal minta ke DPR anggarannya, entah melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN), Subsidiary Loan Agreement (SLA), atau anggaran lain.

Mari kita diskusikan solusi, tidak fokus di masalah. Solusi terbaiknya adalah IPO-kan BUMN agar transparansinya lebih tinggi, kinerja meningkat, dan publik dapat menjadi bagian pemegang saham sehingga bisa mengontrol secara lebih efektif. BUMN yang sudah IPO cenderung lebih baik kinerjanya daripada yang belum IPO. Tetapi apa reaksi masyarakat jika BUMN di-IPO-kan? Banyak yang menentang dengan dalih anti asing dan dalih lain. Di satu sisi, BUMN tidak boleh sebagai sapi perah, tetapi di sisi lain solusi yang mengarah pada hal tersebut ditentang juga. Contoh nyatanya adalah IPO Krakatau Steel dan IPO Garuda Indonesia. IPO berbeda dengan “menjual bulat-bulat” karena sahamnya dijual ke publik. Setiap orang bisa menjadi pemegang saham. Ketika BUMN IPO maka selain terikat oleh Undang-undang BUMN juga terikat oleh Undang-undang Pasar Modal sehingga lebih transparan dalam pengelolaannya.**[harja saputra, TAA-539 Komisi VI DPR]

Tulisan ini semula dimuat di Kompasiana dan menjadi Headline: http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2011/08/10/bumn-sapi-perah-parpol/

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share