Permasalahan peredaran narkoba di penjara kembali mencuat. Kasus yang terjadi di Lapas Kerobokan Bali pada 25 Juni lalu adalah salah satu contohnya. Di mana BNN berusaha menggerebek jaringan narkoba di lapas tersebut namun mendapat perlawanan sehingga memunculkan keributan dan mengakibatkan kerusakan fasilitas lapas. Ibarat macan yang baru tumbuh gigi ingin menggigit tetapi yang hendak digigit adalah macan senior yang giginya sudah terlatih menggigit.
Bukan hanya di Bali, narapidana dapat mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara terjadi juga di hampir seluruh lapas, mulai dari Salemba, Nusakambangan, dan lapas-lapas lainnya. Padahal, kita semua sepakat bahwa narkoba adalah zat adiktif sangat berbahaya yang menjadi pangkal dari kejahatan. Merusak moral anak bangsa.
Masalah narkoba merupakan masalah di hampir setiap negara. Amerika pun memiliki masalah yang sama. Peredaran kokain di jalanan marak terjadi. Dari aspek penanganannya pun hampir sama. Kebijakan yang diterapkan oleh aparat di negara kita hampir sama dengan yang diterapkan oleh Amerika, yaitu lebih pada penanganan di faktor penawaran, misalnya dengan membakar kebun ganja, menghanguskan barang sitaan (meskipun barang sitaan di kita seringkali diedarkan kembali melibatkan oknum-oknum tertentu), dan sejenisnya. Dengan argumentasi, kendalikan persediaannya di hulu maka permintaan di hilir akan berkurang.
Padahal, penanganan pada faktor penawaran tidak pernah efektif mengatasi kejahatan narkoba:
Pertama, permintaan terhadap narkoba bersifat inelastis. Narkoba beda dengan barang dagangan lain. Hukum ekonomis dari teori elastisitas permintaan adalah jika persediaan berkurang maka harga akan meningkat dan otomatis konsumsi terhadap barang tersebut akan berkurang. Hukum elastisitas permintaan ini tidak bisa diterapkan di narkoba. Karena narkoba menimbulkan efek kecanduan sehingga sifatnya inelastis. Berapa pun harga narkoba di pasaran si pemakai akan berusaha untuk memperolehnya. Bukan dengan mengurangi konsumsi, tetapi berusaha mendapatkan sumber lebih banyak untuk membelinya. Bahkan tak jarang harus dengan menciptakan kejahatan baru, yaitu pencurian, penipuan, dan sebagainya, sehingga terjadi multiplyers effect pada munculnya tindakan kejahatan lain. Modus lainnya adalah dengan menjual semua barang miliknya untuk memperoleh narkoba, sehingga banyak kasus orang yang awalnya kaya raya ketika kenal narkoba menjadi jatuh miskin. Atau bagi para pelajar dan mahasiswa, adalah dengan menipu orang tua dengan dalih biaya sekolah ini biaya sekolah itu.
Kedua, sumber bahan baku narkoba gampang diperoleh. Tanaman narkoba mudah tumbuh di negara tropis seperti di negara kita. Sebut saja Aceh yang memiliki banyak lahan penanaman ganja. Tempat-tempat lain di negara kita umumnya mudah ditanami tanaman ganja. Untuk jenis lain, pencampuran zat adiktif dengan bahan kimia pun mudah diproduksi. Banyak kasus, rumah kontrakan dijadikan untuk tempat memproduksi narkoba dengan peralatan yang bisa dirakit sendiri. Artinya, dari segi produksi tidak ada masalah. Sehingga, seberapa pun giatnya penumpasan terhadap sektor hulu, maka tidak akan banyak berpengaruh pada pengurangan supply.
Ketiga, nilai dari penjualan narkoba marginnya sangat besar daripada nilai produksi. Tidak ada yang bisa mengalahkan nilai margin dari penjualan narkoba. Nilai margin penjualan bisa mencapai 400% hingga 500% bahkan lebih dari itu dari nilai produksi. Dengannya menjual narkoba menjadi jalan pintas untuk menjadi kaya di tengah susahnya mendapatkan pekerjaan.
Dari ketiga faktor tersebut maka penanganan dari segi penawaran atau persediaan (supply) tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Lantas, bagaimana cara yang efektif? Jangan fokus di faktor penawaran, meskipun hal itu penting, tetapi justru yang lebih penting adalah mengendalikan dari faktor permintaan. Apa yang dapat dilakukan untuk mengendalikan permintaan?
Bikinlah efek jera untuk para pelaku, baik pengguna terlebih lagi pengedar. Terdapat dua variabel dalam memunculkan efek jera, yaitu: pertama denda yang tinggi dan kedua hukuman yang berat. Kuncinya ada di lembaga penegak hukum. Penanganan dengan memberikan denda tinggi dan hukuman berat dapat mengurangi faktor permintaan.
Kenyataannya justru sebaliknya, sudah hukumannya yang tidak memberikan efek jera, narapidana di penjara leluasa memiliki telepon seluler, narapidana narkoba baru disatukan selnya dengan narapidana narkoba senior yang sudah lama akhirnya berkomplot, penjaga lapasnya mata duitan. Tamatlah sudah. Jika demikian, tidak usah bicara penanganan narkoba.**[harja saputra]
Semula dimuat di Kompasiana: http://hukum.kompasiana.com/2011/06/30/benang-kusut-penanganan-narkoba/