Rapat Paripurna DPR yang membahas masalah RUU Pemilu berlangsung sangat alot, bahkan lebih alot daripada rapat paripurna yang membahas masalah BBM pada akhir Maret 2012 lalu. Bahas pemilu memakan waktu 2 hari (11-12 April 2012) sedangkan bahas BBM hanya sehari saja. Tidak hanya itu, bahkan sempat diwarnai beberapa kali skors, dan yang terpanjang skorsnya dari jam 16.00 sampai dengan tengah malam (pukul 00.30 WIB). Dilanjutkan lagi keesokan harinya.
Hal itu karena ada perdebatan sengit di antara fraksi-fraksi yang ada di DPR seputar 4 hal krusial: sistem pemilu (apakah terbuka atau tertutup), besaran Parliamentary Threshold (PT), besaran jumlah kursi untuk tiap dapil, dan sistem perhitungan kursi.
Akhirnya dari lobi-lobi dicapai kesepakatan untuk 3 hal: sistem pemilu disepakati menggunakan sistem terbuka, besaran PT 3.5%, dan jumlah kursi tiap dapil 3-10. Adapun tentang sistem perhitungan kursi masih belum ada kesepakatan. Bahkan sempat diwarnai "boikot" oleh partai besar Golkar dan PDIP. Mereka tidak mau masuk ruang sidang karena belum ada kesepakatan, sehingga skors sangat lama hingga tengah malam. Kedua partai itu memperjuangkan sistem perhitungan Divisor Webster sedangkan lainnya sistem Kuota Murni. PKS juga awalnya berpihak ke Divisor Webster, tapi biasalah partai ini sering galau, hingga akhirnya beralih ke kuota murni.
Voting pertama dilakukan untuk menentukan opsi metode perhitungan kursi (konversi suara menjadi jumlah kursi). Dari hasi voting dimenangkan opsi metode kuota murni (metode yang diterapkan seperti pemilu 2009 lalu). Voting kedua dilakukan untuk masalah PT apakah diterapkan secara nasional (ke tingkat daerah juga) ataukah berjenjang. Ini pun sangat sengit. Akhirnya dari hasil voting diputuskan dikembalikan lagi ke pansus, dan keputusan pansus adalah bagian tak terpisahkan dari hasil rapat paripurna (aneh ya..kebalik-balik!).
Khusus tentang perbandingan Kuota Murni dan Divisor Webster, di sini akan dilakukan perbandingan sehingga dapat diketahui secara jelas di mana perbedaannya. Perhatikan contoh di bawah ini (dapil NTB, jatah kursi 10 kursi):
Bandingkan dengan metode divisor Webster berikut.
Pasal 211 RUU Pemilu menyebutkan mengenai cara pembagian kursi dengan metode Divisor:
(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap partai politik peserta pemilu yang memenuhi ketentuan pasal 208 (red: memenuhi ambang batas/PT) di dapil yang bersangkutan.
(2) Suara sah dari setiap parpol peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di setiap dapil dibagi dengan bilangan pembagi tetap berangka ganjil.
(3) Penghitungan perolehan kursi setiap parpol berdasar pada perolehan suara tertinggi di dapil yang bersangkutan secara berurutan sampai habis alokasi kursi yang tersedia yang dilakukan dengan cara membagi perolehan kursi dengan bilangan pembagi sebagaimana dimaksud ayat (2).
Pasal di atas kalau kita cermati luar biasa membingungkan. Penuh dengan ketidakpastian. Tak percaya? Coba lihat contoh nyata berikut.
Saya bikin 2 alternatif contoh: satu berdasarkan teori Webster itu sendiri dan satu lagi berdasarkan bunyi pasal di atas. Karena memang metode Webster ini tidak ada contoh nyatanya di RUU yang dibagikan. Lampirannya pun tidak ada. Mungkin karena inilah metode ini ditolak.
Metode Divisor Webster (alternatif I)
Metode Divisor Webster (Alternatif II berdasarkan RUU Pemilu):
Sistem kuota murni tidak asing karena pada pemilu lalu kita menggunakan sistem tersebut, meskipun ada perbedaan mendasar antara kuota murni RUU Pemilu baru dengan sebelumya: sekarang pembagian habis di dapil sementara yang lalu pembagian sisa suara ditarik ke provinsi dan ditentukan angka BPP baru (satu provinsi bisa terdiri dari satu dapil atau lebih).
Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa dengan sistem kuota murni sebaran perolehan kursi lebih rata, sedangkan jika diterapkan sistem Divisor Webster hanya partai-partai besarlah yang mendapatkan kursi (baik webster alternatif 1 ataupun 2). Partai kecil nyaris tak mendapatkan kursi sama sekali. Faktor inilah yang krusial.
Contoh di atas diambil dari perolehan suara riil Dapil NTB pada pemilu 2009 lalu. Amati secara baik-baik. Jika webster maka Hanura, PPP, PAN, Gerindra, bahkan PDIP sendiri tak akan mendapatkan kursi di dapil NTB. Terserap oleh partai besar. Anehnya kok yang ngotot adalah PDIP ya..mungkin pertimbangan untuk basis suara mereka di tempat lain. Demokrat sendiri, untuk NTB misalnya, jika Webster diterapkan sebetulnya sangat diuntungkan karena bertambah kursi awalnya 3 menjadi 5, tetapi Demokrat tidak memilih sistem ini, lebih memilih sistem kuota murni yang penyebarannya lebih rata. Hmmmmm…politik memang aneh!**[harja saputra]
———————-
Referensi:
Perhitungan divisor webster: http://www.jdawiseman.com/papers/electsys/apportionment.html
http://www.cut-the-knot.org/Curriculum/SocialScience/Webster.shtml
Dokumen Revisi RUU Pemilu dari rapat paripurna DPR
Lebih detail untuk mengetahui: Apa dan Bagaimana Perhitungan Kursi dengan Metode Kuota Murni Klik Di sini.
Untuk yang akses melalui mobile, gambar secara jelas dapat dilihat di bawah ini:
{gallery}kuota_webster{/gallery}
Lihat Komentar
masih belum mengerti cara perhitungan divisor webster alternatif 1 mohon di bahas lebih detail
@Mas Fazar: Untuk metode webster alternatif I (dari teori) ada bilangan pembaginya. Hampir sama dengan kuota (semacam BPP). Untuk Ganjil 1: Jumlah suara sah after PT dibagi jumlah kursi. Untuk Ganjil3: total suara tiap partai dikurangi dengan jumlah pada Ganjil 1. Untuk Ganjil 5: total suara tiap partai dikurangi jumlah Ganjil1+Ganjil3.
Tapi perlu saya sebutkan, yang sesuai dengan RUU Pemilu adalah Webster alternatif2.
Meskipun, pada alternatif 2 juga, seperti saya tandai warna merah adalah potensi konflik.
Thx
HS