Khutbah Idul Adha Amien Rais yang dinilai mengandung isu politis menjadi ramai di linimasa. Pro-kontra tak dapat dihindarkan, karena memang dialektika sosial harus seperti itu. Tidak mungkin pendapat seseorang bisa memuaskan semua orang. Dan, seloroh saya waktu mendengar banyak protes terhadap isi khutbah itu, “memang tidak ada keharusan kita bisa memuaskan semua orang. Yang wajib kita puaskan adalah cuma istri kita..:v :v”.
Di Facebook saya lihat ada pendapat keras dari Facebooker yang kemudian dikutip oleh banyak “media lampiran”, judulnya “Surat Terbuka Yusuf Muhammad kepada “Badut Politik” Amien Rais“. Siapa Yusuf Muhammad? Saya tidak tahu. Yang saya lihat pendapat-pendapatnya banyak dikutip “Media Lampiran”.
Apa itu “media lampiran”? Maksudnya bukan media bab utama alias media mainstream. Keberadaannya hanya sebagai pelengkap. Biasanya media seperti itu adalah media adhoc, dibikin untuk suatu misi tertentu. Bukan dibangun oleh semangat jurnalisme, hanya untuk menandingi isu untuk suatu kepentingan suatu kelompok.
Dari situ saja sudah bisa dinilai. Ya gak levellah bos, pendapat Amien Rais dijawab dengan hanya seorang pegiat medsos di media lampiran. Ini dari penilaian yang instan.
Namun, karena saya diajarkan jangan dibiasakan menilai dengan sesuatu yang instan, saya akan ulas di mana kelemahan penilaian-penilaian para pembenci Amien Rais. Ini berlaku bagi siapa saja yang tidak mengerti latar-belakang kenapa Amien Rais mengambil posisi menentang Ahok, misalnya, atau seperti dulu beliau mengambil posisi berseberangan dengan para pendukung Jokowi.
Pada bulan Mei lalu, saya menghadiri Pidato Budaya dua tokoh nasional yang berbeda, yaitu pidato budaya Ibu Megawati di Metropol Megaria dan ceramah kebangsaan Amien Rais pada Peringatan 18 Tahun Reformasi di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta. Dua-duanya pidato mengenai kondisi bangsa ini. Bahkan, saya sebelumnya belum pernah mendengar pidato Megawati mengenai isu-isu keagamaan, di pidatonya waktu itu sangat luar biasa.
Kenapa luar biasanya? Karena Megawati mengutip banyak pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan sangat kental dengan nuansa pemikiran Islamnya. Tapi sayang, beliau hanya membacakan naskah yang menurut Ibu Megawati sendiri adalah dari seseorang yang sangat dekat dengan beliau. Saya tahu betul corak pemikiran dan gaya bahasa penulisnya. Kemungkinan besar Megawati membacakan naskah dari Musdah Mulia. Pendapat Megawati menjadi tidak genuine.
Beberapa hari kemudian saya menyimak langsung ceramah Amien Rais yang juga luar biasa. Lagi-lagi, sayangnya tidak banyak diliput media mainstream, hanya ada TV Muhammadiyah yang menayangkan secara live pidatonya.
Di ceramah itu Amien Rais mengungkapkan secara gamblang bagaimana sejarah perjuangannya sebelum gerakan reformasi 18 tahun lalu, suasana reformasi, dan kemudian menentukan sikapnya saat ini. Jika Anda menyimak ceramahnya akan mengerti betul kenapa Amien Rais bersikap seperti sekarang.
Amien Rais berjuang sudah lama untuk bangsa ini, dan tidak sedikit diwarnai intrik ketika ia menyuarakan hal tersebut. Di saat Orde Baru, Anda tahu sendiri bagaimana peran penguasa kala itu. Amien Rais bahkan menuturkan banyak cara penguasa orde baru yang intinya agar beliau menghentikan perjuangannya.
Ada juga yang mengutus kepada Pak Amien dengan pendekatan personal. Beliau menceritakan bahwa ia pernah didatangi oleh seseorang (saya tidak akan sebut nama tokohnya meskipun Pak AR waktu itu bilang) dan terjadi diskusi seperti ini antara Amien Rais dengan tokoh yang diutus:
“Pak Amien, saya mau cerita. Ada 3 pelukis yang diundang untuk melukis seorang raja zalim yang hanya memiliki satu telinga. Telinga kanan raja itu tidak sempurna. Pelukis yang satu, karena untuk menyanjung sang raja, ia lukis telinga raja dengan sempurna. Di lukisan itu raja memiliki dua telinga padahal aslinya tidak. Raja marah langsung dieksekusi pelukis itu.
Pelukis kedua, ia melukis apa adanya. Raja masih marah juga karena berarti menunjukkan pada dunia kelemahan sang raja.
Pelukis ketiga berbeda. Ia hanya melukis raja dari samping kiri. Lukisan yang tampak adalah raja sedang menghadap ke kanan sehingga telinga raja yang tidak sempurna tidak terlihat. Raja happy.”
Ilustrasi tersebut disebut Amien Rais diungkapkan untuk meminta dirinya secara halus agar dalam mengkritik penguasa dengan cara lembut. Jangan diungkapkan semua keburukannya. Harus bijak, mungkin begitu. Ini pendekatan rasional tapi tetap saja, menurut AR, tujuannya agar ia menghentikan kritik tajam terhadap orde baru.
Nah, bagi saya, Amien Rais adalah pelukis kedua. Ia menceritakan ke semua orang dengan cara melukis apa adanya sehingga semua kejelekan penguasa menjadi terlihat jelas. Ia pun memaparkan bagaimana kondisi saat ini yang menurut hemat beliau tidak jauh kondisinya dengan pada saat ia menyuarakan gerakan reformasi, dengan bentuk yang berbeda. Fakta-faktanya ia paparkan secara panjang lebar.
Di antaranya, Amien Rais menyebutkan mengenai yang ia sebut “Nawacita vs Nawa Kesengsaraan“:
(1) Sengsara Politik: diwarnai dengan politik adu domba. Partai-partai diadu-domba. Ini persis cara-cara Orde Baru bahkan lebih buruk;
(2) Sengsara sosial: kesenjangan makin lebar.
(3) Sengsara ekonomi: makin terpuruknya ekonomi kita.
(4) Sengsara hukum: lembaga penegak hukum sudah tidak jelas lagi arahnya.
(5) Sengsara pendidikan: dana 20 persen APBN bagi pendidikan sebagai bagian dari perjuangan reformasi pada prakteknya banyak disimpangkan.
(6) Sengsara kecerdasan: Amien Rais menyebutnya bahwa bangsa kita kok sekarang menjadi “bangsa agak lucu”, banyak kasus yang lebih lucu penanganannya ketimbang drama humor.
(7) Sengsara moral.
(8) Sengsara arah bangsa: Amien Rais menyebutnya bahwa saat ini Indonesia menjadi bangsa yang tidak fokus, susah bedakan mana yang benar dan mana yang salah.
(9) Sengsara atau krisis pemimpin. Nah di sinilah ia memaparkan banyak hal bagaimana corak kepemimpinan nasional, kepemimpinan di DKI Jakarta dengan banyak alasan-alasan logis yang panjang lebar dengan berbagai pendekatan.
Tentu, pemaparan aslinya dari ceramah Amien Rais lebih layak disimak karena menyampaikan informasi-informasi yang tidak semua sadar terhadap hal tersebut. Ia bicara, saya menilainya, sebagai orang-tua dan tokoh senior yang memang bicara berdasarkan fakta dan data. Saya tidak bisa menyampaikan semuanya karena keterbatasan ruang. Silahkan dirujuk ke TV Muhammadiyah.
Jadi, sikap Amien Rais masih konsisten dari dulu sampai sekarang. Memperjuangkan nilai-nilai yang ia anut dan pemetaannya terhadap kondisi bangsa tentu punya reasoning tersendiri.
Sehingga, kalau ada orang yang mengatakan ia “Munafik”lah, “Badut Politik”, bahkan dengan menyebut ia bersedia menyumpal mulut Amien Rais dengan sedotan wc seperti diungkapkan aktivis Medsos di fanpagenya, astaghfirullah al-adzim, beristigfarlah segera.
Perlu saya sampaikan, saya bukan hendak membela secara buta Amien Rais atau Muhammadiyah. Karena dari segi Mazhab, saya tidak bermazhab. Saya tetap berpendirian bahwa semua mazhab atau golongan pemikiran sebatas memiliki pandangan baik dan rasional layak diikuti. Dari manapun itu berasal. Kalau membatasi diri pada suatu golongan pemikiran akan repot. Jadi saya jamin, pandangan saya ini, tidak berasal dari “kecintaan buta” pada Amien Rais atau Muhammadiyah. Bukan.
Dalam memahami realitas atau pendapat seseorang dan golongan, cara terbaiknya adalah kita harus menyimak langsung dari sumber primernya. Ini adalah cara yang diajarkan oleh Islam. Jangan pernah percaya pada kabar “katanya-katanya”. Realitas dan pendapat itu ibarat kulit bawang, kita seringkali terpaku pada apa yang tampak sekilas, padahal realitas dan pendapat seseorang itu pasti ada lagi kulit-kulit terdalamnya yang harus dikupas.
Jika sudah demikian, mana yang layak Anda percayai: Amien Rais atau tokoh Medsos kemarin sore itu?**[harjasaputra.com]
Lihat Komentar
Amien Rais memang tokoh fenomenal.
Mempersepsikan beliau hanya dari apa yang ditulis oleh medsos tentu ceroboh..
Semoga beliau tetap sehat dan tetap berkontribusi untuk negri ini