Banyak pihak menilai dinamisasi di tubuh Golkar akhir-akhir ini menjelang Munas akan membawa perpecahan di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut. Benarkah akan terjadi demikian?
Sejarah mencatat partai kuning ini adalah partai tertua dibanding partai-partai lain. Meskipun, partai tua lain seperti PPP sudah mendahului pecah tapi saya meragukan golkar akan mengalami hal yang sama. Apa faktornya?
Faktor Akbar Tanjung menjadi kuncinya. Akbar Tanjung adalah tokoh besar, yang boleh dikatakan, aktor di balik layar peran Golkar selama ini. Meskipun tidak muncul ke permukaan tetapi Akbar Tanjung bisa menjadi perekat dari tokoh-tokoh Golkar senior lainnya. Terbukti, setelah Akbar Tanjung turun tangan semua tokoh yang “berseteru” bisa didamaikan dan terjadi kesepakatan untuk menunda waktu pelaksanaan Munas.
Akbar Tanjung mengerti betul agenda tersembunyi di balik kemelut yang sedang terjadi. Bukan Golkar namanya jika mudah dipecah-belah. Sejarah juga mencatat, bagaimana pun panasnya persaingan untuk duduk sebagai Ketua Umum, tetapi partai Golkar tidak pernah sampai pecah. Tentu saja ada orang-orang yang tidak puas lalu keluar dari Golkar dan mendirikan partai sendiri. Surya Paloh dengan Nasdemnya, misalnya, atau Wiranto dengan Hanuranya, adalah contoh dari dinamisasi tersebut. Tetapi, Golkarnya tetap utuh.
Akbar Tandjung pernah menulis buku khusus mengenai hal ini, berjudul “The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Reformasi” yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 2007. Di buku ini Akbar Tandjung menguraikan bagaimana sejarah Golkar dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Golkar tetap bertahan (survive) sampai saat ini.
Menurut Akbar Tandjung dalam bukunya, ia mengutip teori dari Moses Maor dan Samuel Huntington, bahwa sebelum suatu partai mapan (persist) maka partai tersebut harus eksis atau bertahan (survive). Di antara faktor terbesarnya adalah “kelembagaan partai politik”. Faktor ini, yang menurut Akbar, sangat kuat di Golkar. Kelembagaan partai adalah menyangkut aspek struktural dan dimensi otonomi partai.
Golkar pada tahun 1998 sempat terpuruk tetapi masih dapat eksis di tahun 1999 bahkan memenangkan pemilu di posisi kedua dengan berhasil meraih suara yang cukup signifikan (22,4%). Selanjutnya pada tahun 2004 Golkar juga menjadi pemenang dengan raihan suara 21,58%. Tak ketinggalan, pada pemilu 2014 Golkar pun masih menduduki posisi kedua dengan raihan suara lebih dari 14%.
Tidak hanya itu, Golkar terbukti rapi dalam membuat strategi. Dalam kasus Atut misalnya, sempat kasus Atut diidentikkan dengan Golkar. Atut adalah Golkar dan Golkar harus mendapat citra negatif dari kasus tersebut. Tetapi kemudian tidak terjadi sama sekali. Fenomena itu langsung “digunting” habis. Yang terjadi adalah: Atut adalah Atut dan di media kasusnya tidak dikaitkan lagi dengan Golkar. Golkar selamat. Citranya tetap mapan. Berbeda dengan kasus yang menimpa PKS dan Demokrat. Nazarudin adalah Demokrat, maka ketika Nazarudin tertimpa kasus, maka Demokrat ikut kena getahnya. Begitu pun dengan PKS, ketika LHI jatuh PKS pun ikut terpuruk.
Akbar Tandjunglah sosok yang sangat memahami bagaimana visi dari Golkar dan ia akan membuktikannya kembali semua teori-teori yang ia tulis di bukunya tersebut. Saya memprediksi, Golkar akan tetap menjadi Golkar dan tidak akan terjadi perpecahan. Dinamisasi mungkin akan tajam di Munas nanti tetapi tidak akan mengoyak partai Golkar menjadi dua seperti yang terjadi pada PPP.**[harjasaputra]