Secara makna, ungkapan Sukmawati Soekarnoputri yang membandingkan Soekarno dan Nabi Muhammad Saw dalam peran kemerdekaan Indonesia tidak ada yang salah. Betul secara konten.
Sabar dulu, ini ada tapinya, jangan dulu digebuk. Ada kelanjutannya nih..:)
Tapi, pernyataan Sukmawati itu keliru secara logika bahasa. Dua hal yang tidak berkaitan, substansinya berbeda, digabung dalam satu struktur kalimat. Pasti akan memberikan pengertian yang berbeda. Dampaknya akan fatal.
Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh yang berada jauh sebelum Soekarno dibandingkan dengan sosok Soekarno yang berjuang dalam kemerdekaan Indonesia. Jelas tidak nyambung.
“Tidak apple to apple gitu maksudnya?”
“Ya itu maksudnya. Tapi kalau dibilang begitu, masih terlalu mainstream.”
Lebih jelasnya begini. Suatu kata ketika dilontarkan oleh seseorang dalam suatu struktur kalimat, kata tersebut tanpa disadari berperan ganda. Kata bukan hanya sebagai media perantara dalam menyampaikan maksud seseorang dalam suatu percakapan, tetapi juga ia memiliki makna tersembunyi yang tak jarang menjadi liar.
Dalam Semiotika Jakobson, kata terasa sebagai kata ketika kata itu bukan hanya merepresentasikan obyek yang diwakilinya, tetapi kata juga merepresentasikan fungsi sosial.
Contohnya, kata “atos” dalam bahasa Jawa artinya keras, tetapi dalam bahasa Sunda, kata “atos” artinya sudah. Ketika dalam sebuah percakapan, kata ini terungkap dan dipahami oleh dua orang yang berbeda tanpa melihat konteks sosialnya, maka dipastikan kata atos ini akan dipahami berbeda. Kata ini dengan sendirinya menjadi liar.
Itu baru kata. Apalagi jika dalam bentuk kalimat yang terdiri dari banyak kata. Kesadaran dan kemahiran seseorang dalam memahami konteks sosial dari suatu kata, dari suatu kalimat, mutlak diperlukan agar pesan yang disampaikan sesuai dengan yang diharapkan.
Dua kalimat yang seakan memiliki hubungan, memiliki suatu makna utuh, tetapi jika digabungkan belum tentu memiliki hubungan langsung.
Simak contoh kalimat berikut:
“Ahmad membuka pintu rumah, mobil tabrakan”.
Dua struktur kalimat, dua keadaan yang berbeda, lalu digabungkan dalam satu struktur kalimat akan menimbulkan pemahaman sebab-akibat. Pembaca atau pendengar akan menyimpulkan bahwa mobil tabrakan akibat Ahmad membuka pintu rumah. Ahmad menjadi penyebab dari mobil tabrakan.
Padahal aslinya tidak seperti itu. Ahmad membuka pintu hendak keluar rumah, lalu mobil tabrakan. Sebabnya bukan karena Ahmad itu, tetapi ternyata karena salah seorang sopir mengantuk. Jadi, hati-hati dalam membentuk suatu kalimat.
Kasus Sukmawati yang lagi ramai sekarang, adalah contoh bagaimana kekeliruan dalam membuat suatu pernyataan. Ia tidak menyadari bahwa mungkin ia tidak bermaksud melakukan perbandingan yang an sich antara kedua tokoh yang dibicarakannya.
Namun, kata sudah terlanjur terucap. Tak ayal, ungkapan yang terdiri dari kata-kata yang memang berperan ganda itu kini berubah menjadi sangat liar. Ditambah lagi dengan kebiasaan orang Indonesia yang sangat demen dengan isu-isu yang berbau agama, terdepan kalau dalam urusan agama, cocoklah itu. Sempurna.
Dalam menyikapi kasus yang seperti ini, jangan juga terlalu dibawa ke hati. Santai saja. Sikapi masalah yang beginian dengan mengedepankan wacana keilmuan.
Ajaklah Sukmawati diskusi tentang semiotika kek kali-kali. Ia paham atau tidak tentang Semiotika. Biar nanti tak salah-salah kalau dalam berkata-kata. Ini lebih bermanfaat, membuka pengembangan ilmu pengetahuan, ketimbang saling melaporkan.
Melaporkan ke polisi juga boleh sih. Kalau tidak begitu, tidak ramai. Kita kan senang yang ramai-ramai. Nanti tenggelam lagi. Muncul lagi kasus yang begini, laporkan lagi, tenggelam lagi. Tanpa memberikan efek positif pembelajaran.
Mungkin ada pembelajaran, yaitu kita berkaca tidak boleh bertutur kata sembarangan. Tidak cukup dengan itu, ada banyak hal yang harus digali dari wawasan keilmuan. Suatu kesalahan akan menimbulkan kita belajar banyak hal, nah itu yang harus dikembangkan.*