OpiniPolhukam

Menteri Agama Rasa Kepala BNPT

Menteri Agama yang baru, Fachrul Razi (foto: okezone.com)

Jajaran Menteri yang ditunjuk oleh Jokowi pada periode kedua yang menuai kontroversi salah satunya adalah Menteri Agama. Bukan karena ia berasal dari kalangan militer, meskipun tentang ini pun, bagi sebagian kalangan adalah salah satu alasan. Namun, yang lebih terasa adalah karena salah satu fokus kerjanya disebutkan secara eksplisit yaitu terkait memerangi radikalisme.

Lho kok Menteri Agama fokusnya ngurusin radikalisme? Penting banget emang? Tentu penting kalau seperti itu. Jika tidak penting, jelas tidak akan ditugaskan.

Hal krusial yang perlu diingat, tugas tentang masalah Radikalisme ini sudah ada yang menangani. Tertulis secara eksplisit di UU Nomor 5 Tahun 2018, yaitu oleh badan yang menyelenggarakan urusan penanggulangan terorisme, dalam hal ini BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).

Fungsi BNPT dalam Pasal 43F huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 disebutkan: “Melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.”

Clear alias jelas, bening sebening embun. Tak perlu lagi penafsiran. BNPT bukan hanya lembaga yang mengoordinasikan kegiatan kontra radikalisasi dan deradikalisasi tetapi juga melaksanakan. Menyusun strategi dan mengeksekusi.

Memang, dalam pasal-pasal sebelumnya disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut, BNPT mengoordinasikan lembaga-lembaga terkait. Tetapi, tugas inti dari masalah radikalisme ini berada di bawah BNPT.

Apa itu kontra-radikalisasi dan bedanya dengan deradikalisasi? Singkatnya, kontra-radikalisasi adalah pencegahan kepada orang yang belum terpapar atau agar masyarakat tidak terpapar paham Radikal Terorisme (ini istilah yang disebut dalam Undang-undang lho ya, bukan menggunakan istilah Radikalisme).

Adapun deradikalisasi adalah kegiatan yang diperuntukkan bagi orang atau kelompok yang sudah terpapar oleh paham radikal terorisme, agar kembali ke jalan yang benar. Singkatnya begitu. Tentang definisinya, ada lengkap di Undang-undang tentang Terorisme.

Kontra radikalisasi dilakukan melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi. Itu jelas tertuang juga dalam Undang-undang tersebut. Tidak jauh beda dengan kegiatan penanggulangan radikalisme dalam berbagai pengertian yang berbeda. Sedangkan deradikalisasi dilakukan dengan tahapan identifikasi, rehabilitas, reedukasi, dan reintegrasi sosial.

Baca Juga: Menggali Akar Penyebab Seseorang Menjadi Teroris

Apakah misi Menteri Agama ini wujud dari kebijakan strategi nasional sebagaimana dimaksud dalam undang-undang terorisme ataukah justru overlapping tugas.

Jika disebut wujud dari kebijakan strategi nasional, seharusnya ada komunikasi intensif antara BNPT dan Kementerian Agama RI terlebih dahulu, baru muncul program tersebut. Ini tidak. Menterinya saja baru ditunjuk tetapi sudah menggariskan program yang justru menjadi tugas dari BNPT.

Itulah kenapa disebut di judul “Menteri Agama Rasa Kepala BNPT”. Menteri Agama tetapi fungsinya BNPT.

Menteri Agama bisa jadi hanya melaksanakan apa yang sudah digariskan oleh Presiden, tetapi harus diingat juga bahwa pelaksanaan mengenai masalah radikalisme ini harus ada Peraturan Pemerintahnya dari UU terorisme, baru bisa dilakukan secara praktis. Masalahnya, Peraturan turunan dari UU itu apakah sudah ada? Seingat saya belum ada. Kenapa lantas sudah main hantam saja.

Belum lagi permasalahan istilah yang digunakan, yang seharusnya konsisten. Di Undang-undang terorisme, paham yang terlarang sehingga harus diwaspadai, dicegah, dan ditindak adalah paham Radikal Terorisme, bukan paham Radikalisme. Tolong dicatat. Ini penting, karena istilah bukan hanya rasa bahasa, melainkan mengandung makna dan tindakan. Di setiap kata ada makna, dan di setiap makna ada objek yang diwakili, dalam kasus ini adalah jutaan orang Indonesia. Salah istilah, salah kegiatan, dan tentunya akan mempengaruhi sasaran.

Orang beragama sifatnya subjektif, karena terkait penghayatan dari ajaran agama yang setiap orang berbeda-beda pemahamannya. Tidak bisa pemahaman tentang ajaran suatu agama diseragamkan. Mustahil. Jika anti-radikalisme ini menyasar pada penyeragaman pemahaman, atau penyeragaman dalam bersikap atas suatu ajaran, tidak akan bisa. Dasar inilah yang kemudian menjadi pijakan dari istilah Radikal Terorisme yang ada di Undang-undang Terorisme.

Perdebatan istilah yang digunakan apakah Radikalisme ataukah Radikal Terorisme ini memakan waktu sangat lama. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan rapat berkali-kali belum menemui titik-temu. Barulah dicapai kesepakatan bahwa yang terlarang adalah Radikal Terorisme. Fix. Jangan digeser-geser lagi. Ini frame dasar dari Undang-undang.

Menteri Agama lebih baik fokus ke inti dari fungsi Kementerian Agama itu sendiri. Anggaran terbesar dari Kementerian Agama adalah fungsi Pendidikan, mencapai 86% dari total anggaran 65 triliunan. Sisanya, 14% untuk fungsi Agama.

Permasalahan di bidang Pendidikan ini tidak sedikit, apalagi dengan jumlah satuan kerja yang sangat banyak hingga ke daerah. Begitu juga permasalahan bidang agama tidak sedikit juga. Nanti jika sudah agak lama Pak Menag menjabat, baru kelihatan masalahnya apa saja. Jangan main gas kencang di awal, terus kemudian melempem di akhir pak. Ini ngurus negara, bukan bajaj.**[harjasaputra]

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: [email protected]

Subscribe to our newsletter

Sign up here to get the latest articles and updates directly to your inbox.

You can unsubscribe at any time
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments