Kamis (03 Juni 2021), Pemerintah melalui Kementerian Agama RI bersama Pimpinan Komisi VIII DPR RI dan stakeholders perhajian melakukan konferensi pers mengenai keputusan pembatalan keberangkatan calon jemaah haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 2021.
Di hadapan awak media, Menteri Agama RI yang dimandatkan oleh Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sebagai pihak yang berwenang untuk mengkoordinasikan mengenai kegiatan perhajian, menyampaikan yang intinya bahwa dengan berat hati Pemerintah di tahun ini harus memutuskan untuk tidak memberangkatkan calon jemaah haji ke tanah suci.
Dengan demikian, tahun ini merupakan kali kedua secara berturut-turut Indonesia tidak mengirimkan jemaah haji ke tanah suci.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Yang pasti, bukan seperti yang beredar di medsos bahwa kita tidak diberi kuota haji disebabkan ada pembayaran akomodasi di Arab Saudi yang terhutang.
Pertanyaannya: Apakah mungkin kita berhutang kepada Saudi terkait penyelenggaraan ibadah haji?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijabarkan mengenai proses penerbitan visa haji.
Salah satu proses yang dilakukan dalam pengusulan penerbitan visa haji yang dilakukan Kementerian Agama kepada Pemerintahan Arab Saudi adalah proses pemaketan layanan melalui sistem E-haj.
Proses pemaketan layanan adalah kegiatan memasukkan data-data layanan di Saudi seperti data kontrak hotel, transportasi darat, layanan di Arafah Muzdalifah dan Mina (Armina) dengan data-data jemaah yang visanya akan diterbitkan. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang yang hadir di Saudi dalam rangka haji dipastikan tidak terlantar karena sudah ada layanan-layanan di atas.
Proses pemaketan dapat dilanjutkan ke proses penerbitan visa apabila sudah dilakukan pembayaran penuh (100%) dari jumlah kuota atas kontrak-kontrak layanan di atas.
Artinya, bahwa visa haji tidak akan terbit apabila kontrak layanan belum dibayar 100%. Tanpa visa, dipastikan jemaah haji tidak bisa ke Saudi. Faktanya, sebelum pandemi, Indonesia selalu memberangkatkan jemaah haji setiap tahunnya.
Dapat dipastikan bahwa Indonesia tidak punya hutang atas kontrak layanan di Saudi, malah kita punya deposit dari pembayaran 100% layanan-layanan tersebut.
Selesai operasional haji akan dilakukan proses rekonsiliasi dalam rangka menghitung besaran dana deposit dengan jumlah riil jemaah yg datang ke Saudi.
Jumlah jemaah yang berangkat ke Saudi selalu lebih rendah dari kuota karena ada yang batal berangkat (wafat, sakit, dll) dan yang tidak digantikan.
Berdasarkan berita acara rekonsiliasi tersebut, Indonesia mengajukan permintaan pengembalian selisihnya.
Dengan demikian, setiap tahunnya sesungguhnya malah kita punya simpanan uang di Saudi, bukan hutang.
Kenyataan lainnya, umumnya pemilik atau penyedia hotel Arab Saudi senang jika hotelnya disewa oleh Indonesia dibandingkan oleh negara lain. Sebab, jemaah haji Indonesia terkenal rapi, tidak jorok dalam menggunakan fasilitas hotel, tertib, dermawan dan royal memberi kepada para petugas hotel.
Hanya satu kekurangan jemaah haji Indonesia, yaitu boros air. Itu karena kebiasaan masyarakat kita segala hal harus menggunakan air. Sering mandi, wudhu, mencuci, masak, dan lain-lain. Di luar itu, minim keluhan terhadap jemaah haji ataupun petugas haji kita dari pihak Arab Saudi maupun masyarakatnya.
Apalagi jika dikatakan dana haji kita tersedot dipakai untuk membiayai infrastruktur sehingga tidak ada lagi dana untuk membayar sewa akomodasi. Itu kesalahan klaim ganda.
Dana haji kita, yang menurut laporan BPKH, sampai saat ini berjumlah Rp140 triliun. Jangankan untuk sewa, untuk beli banyak hotel di Arab Saudi saja kita mampu dengan dana segitu.
Hanya, masalahnya untuk beli atau bangun hotel sendiri di sana tidak semudah yang dibayangkan. Bukan itu penekanannya di sini. Ini hendak menunjukkan bahwa bukan karena faktor dana haji yang menyebabkan kita tidak mendapat kuota, melainkan karena faktor-faktor lain.
Apakah karena faktor tingginya kasus Covid-19 di Indonesia yang menyebabkan Saudi tidak memberi kuota atau belum mengizinkan warga Indonesia untuk masuk ke Saudi?
Tidak juga. Amerika, Italy, Swiss, dan beberapa negara lain yang diperbolehkan masuk ke Saudi penanganan dan jumlah kasus covid-19nya masih tinggi. Misalnya, Amerika bahkan dinilai negara terburuk dalam menangani Covid-19, tetapi sekarang diizinkan masuk. Begitu juga dengan Italy.
Korelasi antara penanganan Covid-19 dengan diizinkan masuk oleh Arab Saudi tidak signifikan bahkan cenderung tidak ada korelasinya.
Satu hal yang pasti adalah, sampai saat ini Arab Saudi belum memberikan kuota haji kepada Indonesia. Bahkan ke semua negara. Belum ada negara satu pun yang telah memperoleh kuota haji. Bahkan, negara kita masih dilarang untuk berkunjung ke Saudi.
Tim yang bertugas mempersiapkan segala kebutuhan jemaah, seperti tim akomodasi, tim transportasi, tim konsumsi, tim kesehatan haji, belum diizinkan untuk masuk ke Saudi. Faktor ini yang sangat signifikan mempengaruhi keputusan pemerintah Indonesia untuk membatalkan keberangkatan jemaah.
Haji memerlukan persiapan yang matang. Hal ini disebabkan kegiatan haji adalah proses memindahkan 221.000 rakyat Indonesia ke luar negeri untuk waktu 40 hari.
Ada migrasi besar untuk waktu yang cukup lama, meskipun sifatnya sementara. Maka, aspek pemenuhan kegiatan ibadah, akomodasi, dan kegiatan pendukung harus disiapkan jauh-jauh hari.
Dengan kondisi yang sudah semakin dekat dengan waktu pelaksanaan haji, maka sangat tidak memungkinkan bagi pemerintah Indonesia untuk memberangkatkan karena minimnya persiapan di Saudi. Adapun persiapan di dalam negeri sendiri tidak ada masalah. Semua sudah siap.
Lantas apa kiranya penyebab Saudi belum juga memutuskan mengenai kuota haji? Itu murni otoritas dan kewenangan Saudi. Mau-maunya dia saja. Tentu, mereka punya pertimbangan tersendiri, yang harusnya dibuka ke publik. Karena, hal ini menyangkut kepentingan publik umat Islam seluruh dunia.
Dalam kondisi pandemi ini, ada faktor eksternal yang berada di luar jangkauan usaha kita. Faktor keselamatan sebagai salah satu aspek perlindungan terhadap jemaah haji harus dikedepankan. Dan, itu merupakan asas dari syariat.
Salah satu maqasid asy-syari’ah adalah melindungi jiwa manusia. Hal tersebut diadaptasi juga dan merupakan amanat Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan jemaah haji.
Beberapa hal yang perlu juga disampaikan kepada calon jemaah haji adalah bahwa mereka merupakan jemaah yang diprioritaskan. Bukan saja diprioritaskan, tetapi otomatis merupakan jemaah yang berhak berangkat di tahun depan.
Dana dari setoran awal dan pelunasan yang telah dilakukan akan diinvestasikan oleh BPKH yang nilai manfaat dari hasilnya akan digunakan untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji di masa berikutnya serta akan dikembalikan hasilnya kepada calon jemaah dalam bentuk tambahan dana di Virtual Account.
Semoga pandemi ini cepat berlalu dan kita berdoa agar di masa mendatang kondisi kembali kondusif agar para calon jemaah haji dapat menunaikan ibadahnya di tanah suci. Amiiin YRA..
*) Tenaga Ahli Panitia Kerja Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Komisi VIII DPR RI.
Lihat Komentar
Mantap