Konsep mengenai Tuhan yang selama ini diperkenalkan oleh para pemuka agama bersifat menyuguhkan tuhan sebagai “barang jadi”, sebagai suatu objek pasti yang harus diimani. Tuhan itu begini, tuhan itu begitu, sifat-Nya adalah ini, dan sifat-Nya adalah itu. Dan semacamnya.
Konsep Tuhan seperti itu secara tidak langsung mengungkung Dzat Tuhan yang sesungguhnya tidak bisa dibatasi. Relasi antara manusia dan Tuhan bukan dikotomi seperti subjek-objek. Sangat tidak pantas memposisikan Tuhan sebagai objek, sebagai suatu yang baku.
Tuhan adalah suatu keterbukaan yang tak kunjung beku dalam penghayatan manusia. Sampai kapan pun, manusia tidak akan mampu mendefinisikan Tuhan, karena memang Dia tidak baku. Ketika Tuhan dapat didefinisikan seperti yang didogmakan para pemuka agama, maka yakinlah itu bukan tuhan yang hakiki.
Dikarenakan Tuhan tidak baku, maka Tuhan hanya bisa didekati melalui semangat kebebasan.
“Makin sejati kebebasan seseorang, makin kuat kepastiannya tentang Tuhan. Kalau saya sungguh-sungguh bebas, saya menjadi pasti bahwa saya tidak bebas karena saya sendiri.”
(Karl Jasper)
Bebas tapi tidak bebas? Maknanya, manusia bebas menafsirkan mengenai tuhan, tetapi pada saat yang sama, penafsirannya bukan suatu hal yang pasti karena kebebasan manusia bersifat kebebasan-nisbi, tak akan mampu bebas sebebas-bebasnya, tetapi dipengaruhi oleh berbagai hal. Termasuk eksistensi manusia itu sendiri yang memiliki berbagai keterbatasan.
Pemahaman mengenai Tuhan yang dapat dipahami secara pasti adalah paradigma eksistensialis positivis. Tuhan dapat diteliti, Ia objek yang bisa diamati. Keberadaannya di luar.
Berbeda dengan paradigma eksistensialis konstruktivis, yang lebih menekankan kesadaran manusia yang bersifat inheren dalam memahami suatu hal. Kebenaran itu dikonstruksikan dalam diri manusia itu sendiri, bukan ditemukan objeknya di luar sana. Tidak ada kebenaran di luar, yang ada adalah kebenaran sebagai hasil konstruksi setiap orang.
Paradigma “Ketuhanan” yang ada dalam Pancasila sebagai dasar negara, harus juga dipahami melalu paradigma konstruktivis. Karena jika menggunakan paradigma positivis, maka akan terjebak pada konsep ketuhanan yang ada dalam sekat-sekat agama yang bersifat baku. Objeknya akan berbeda antara Tuhan agama yang satu dengan agama yang lain.
Ketuhanan dengan paradigma konstruktivis tidak berobjek tunggal, karena sekali lagi, tuhan tidak berobjek seperti yang kita pahami. Dia beyond our perception.
Apakah paradigma konstruktivis menegasikan fungsi agama? Tidak. Agama ciri khasnya membuat limitasi pemahaman. Itu karena agama diturunkan pada suatu zaman dan tempat, sehingga dogma-dogma agama sangat dipengaruhi oleh zaman dan tempat.
Narasi agama kebanyakan diturunkan karena suatu kejadian. Ketika zaman, tempat, dan kejadiannya berubah maka narasi agama harus ditafsirkan ulang untuk mendapatkan semangat utamanya.
Dengan kata lain, nilai-nilai dari suatu agama harus juga mengikuti ciri utama sifat Tuhan yang tidak terbatas, tidak baku, dan tidak kaku. Ia harus mampu diterima di semua tempat dan zaman, sehingga memerlukan penafsiran secara terus-menerus yang bersumber dari kesadaran dan hasil konstruksi pemikiran manusia dalam memahami suatu hal.*