“Alkisah, ada seorang anak yang memiliki syndrome halusinasi. Ia sering dihantui bayangan-bayangan yang menakutkan. Bayangan itu bisa muncul kapan saja. Pagi, siang, sore dan malam. Anak itu merasa tersiksa karena tidak bisa makan-minum dengan normal, tidur pun susah karena terus dihantui bayangan-bayangan. Hingga badannya menjadi kurus dan terlihat oleh orang lain seperti anak yang terbelakang mental.
Orang tuanya sudah membawa anak itu ke berbagai rumah sakit tapi tidak membuahkan apa-apa. Lantas suatu hari mereka membawanya ke seorang profesor ahli otak. Setelah diterapi sang profesor memberikan sebuah jurnal pada si anak dan menyuruhnya untuk menulis setiap aktivitas yang dikerjakan pada jurnal tersebut. Si anak mengangguk, karena sebetulnya ia tidak terbelakang mental. Bisa komunikasi lancar meskipun seperti orang yang ketakutan.
Singkat kata, si anak pun mencatatkan seluruh aktivitasnya di jurnal yang diberikan profesor. Setiap apa yang dikerjakan langsung ia tulis, lengkap dengan jam dan obyek kegiatannya. Hari terus berganti hingga tidak terasa sudah 17 tahun berlalu hingga anak mencapai usia 25 tahun. Selama rentang waktu tersebut ia tidak pernah lagi dihantui bayangan-bayangan yang menakutkan. Jurnal yang sudah ia tulis selama 17 tahun tersebut sudah ratusan.
Cerita berganti. Si anak suatu hari membaca lagi jurnal yang ia tulis pada 10 tahun silam. Tanpa diduga ia mengalami flashback, kembali lagi ke masa lalu pada saat ia menuliskan jurnal tersebut. Seakan dibawa oleh mesin waktu. Ia hadir lagi di kejadian pada saat usianya 18 tahun. Ia merasakannya sangat nyata. Tetapi ada loncatan peristiwa, di jurnal tidak ada tertulis seorang gadis. Namun di saat ia kembali, ia melihat seorang anak perempuan yang berlumuran darah. Ia pun menjerit. Tanpa disadari olehnya kembali lagi ke masa depan, tapi ia telah berada di sebuah kuburan. Tertulis nama yang ia kenal betul. Nama dari gadis teman dekatnya. Padahal baru kemarin ia bertemu. Anak tersebut menangis sekeras-kerasnya.
Jurnal itu telah membawa petaka. Ia cari lagi jurnal yang lain untuk meluruskan sejarah yang telah ia rubah. Setiap ia baca jurnal yang dulu ia tulis, maka ia pun kembali ke waktu tersebut. Namun selalu ada perubahan historis. Terjadi penyimpangan dari yang ia tulis.
Lantas ia menemui lagi si profesor. Profesor kembali menyarankan untuk menulis jurnal baru. Anak itu pun menuruti. Ia kembali menuliskan setiap aktivitasnya ke jurnal baru. 2 tahun kemudian ia pun kembali normal dan keadaan pun berubah normal kembali.”
Cerita di atas adalah penggalan isi dari film Butterfly Effect tahun 2009 yang dulu sempat saya tonton. Sampai sekarang masih ingat setiap adegannya. Film sci-fi yang luar biasa, sarat dengan alur-alur yang tidak mudah ditebak. Selain itu ada filosofinya yang benar-benar kuat.
Filosofi dari film tersebut hendak mengatakan bahwa menulis adalah terapi yang ampuh. Stress, syndrome halusinasi bisa diatasi dengan menulis. Bahkan di ilmu psikologi sejak tahun 1970 sudah berkembang terapi yang disebut dengan “writing theraphy“. Bisa dicek di wikipedia detail arti dari istilah tersebut. Meskipun dalam film tersebut dibumbui dengan teori butterfly effect (efek kupu-kupu), yaitu teori ketidaklinieran kontinum waktu. Atau bahasa mudahnya ada penggalan peristiwa yang berkaitan antara waktu sekarang dan masa lalu tetapi tidak dapat dikontrol.
Terlepas dari teori butterfly effect, menulis bisa menjadi alat terapi adalah tidak berlebihan. Bahkan sangat logis. Karena ketika seseorang menulis sebetulnya sedang terjadi proses dialog dua arah antara dirinya yang satu dengan dirinya yang lain. Dialog antara egonya yang merasa benar dengan ego yang lain. Misalnya ketika pemilihan satu kata ketika menulis, maka terjadi dialog dalam diri manusia apakah kata tersebut tepat atau tidak. Ego yang satu mengatakan tepat dan ego yang satunya lagi mengatakan tidak. Maka pertimbangan rasional dengan pertimbangan-pertimbangan lain dipilihlah kata tersebut atau memilih kata yang lain ketika ia memutuskan kata itu tidak tepat.
Bukan hanya pemilihan kata, tetapi juga pemilihan judul, pemilihan alur tulisan, pemilihan tema, dan sebagainya. Pasti terjadi proses dialogis seakan-akan diri kita jadi dua pada satu tubuh yang sama.
Maka, tidak aneh kalau orang yang suka menulis lebih bijak dalam bertindak. Karena dirinya sudah terbiasa dalam proses dialogis. Tindakannya lebih terkontrol. Stres tidak mungkin menghinggapi seorang penulis. Karena pikirannya terus berjalan menerawang alam abstrak. Stres hanya terjadi ketika pikiran tidak digunakan.**[harja saputra]