Ini tentang diksi: bagaimana ampuhnya kata. Hanya karena kata “menyepakati” ataukah “merekomendasikan” Komisi VIII DPR rela rapat sampai jam 02.30 dini hari menjelang sahur (6/7/2015). Bukan karena diksinya sebenarnya, tetapi perbedaan dampak dari kata tersebut.
Bagaimana tidak, jika kata menyepakati disahkan menjadi kesimpulan rapat maka dampaknya anggaran Badan Pendidikan dan Penelitian Kementerian Sosial RI sejumlah 660 Miliar berpotensi untuk dikembalikan lagi ke negara. Tidak akan terserap.
Rupanya benar apa kata orang bijak–saya lupa siapa yang bilang ini: Gus Dur atau Syafii Maarif–bahwa “Peradaban itu bermula dari titik-koma”.
Maksud dari ungkapan itu senada bahwa diksi/kata memiliki makna luar biasa. Kalau nulis titik-komanya saja tidak betul itu simbol hidupnya juga tidak akan kenal titik-koma: semua dilabrak. Tidak tahu kapan harus berhenti untuk merenung dan tidak tahu kapan harus mengatakan tidak.
Tugas saya sehari-hari berurusan dengan penyusunan diksi: pembuat kesimpulan rapat. Kayaknya sih gampang, padahal berat. Bagaimana misalnya harus meramu beragam pandangan dari para anggota dewan menjadi sebuah kesimpulan rapat yang mengikat.
Kuncinya adalah: “bagaimana menuangkan pendapat-pendapat yang beredar dari para peserta rapat menjadi sebuah bahasa kebijakan yang imperatif”. Nah itu istilahnya tepat: bahasa imperatif. Pemilihan diksi harus tepat. Salah sedikit saja bisa fatal.
Pernah ditegur gara-gara bikin kesimpulan yang di dalamnya ada diksi “dalam rangka” pada kalimat “dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial”. Pemimpin Komisi VIII itu dulu dosen saya. Langsung saja saya ditegur. Waktu saya jadi mahasiswanya dulu pun memang begitu. Tegas, to the point.
“Apa ini maksudnya pakai kata dalam rangka? Memang ada rangkanya? Rangkanya terbuat dari apa? Baja besi?”
Tuh kan, bener juga sih. Kebiasaan penggunaan diksi kita memang begitu. Banyak tuh di spanduk-spanduk resmi “dalam rangka…dalam rangka”. Memang ada rangkanya?
Langsung saya ubah. Sejak itu tidak pernah lagi menggunakan diksi “dalam rangka”. Tidak usah malu mengaku salah. Harus belajar seumur hidup.
Diksi apalagi yang definitif tidak boleh keliru. Beda diksi, beda definisi, beda pula substansinya. Sekarang banyak disoroti masalah kekeliruan pencantuman diksi, baik yang dialamatkan pada pemerintah maupun pihak lain. Kesalahan jangan dibela, harus diperbaiki dong. Manusia salah memang biasa, tapi mengakui dan mengoreksi kesalahan itu luar biasa.
Diksi itu pembentuk bahasa, pembentuk peradaban. Saya sendiri sangat ketat dalam pemilihan diksi. Melakukan sortir berulang kali sebelum kumpulan diksi (apapun itu bentuknya, entah surat, kesimpulan rapat, bahkan posting di blog) dipublikasikan. Kesalahan pengetikan, salah eja, bahasa kerennya typo tidak bisa dihindari. Selalu ada. Cara yang tepat untuk mengurangi typo adalah melibatkan banyak orang. Naskah harus diperiksa oleh beberapa orang.
Pembuat kesimpulan rapat yang handal haruslah seorang yang pandai mendengar bukan pandai bicara. Berkaitan dengan menyerap informasi lalu menarik benang merah dari apa yang disampaikan oleh orang lain. Menyimpulkan arahnya ke mana. Outputnya adalah “bahasa aksi” bukan lagi bahasa “basa-basi”, ngalor-ngidul seperti bikin skripsi.
Gini-gini juga saya selalu dipercaya menjadi petugas pengetik dan petugas kesimpulan pada saat draft kesimpulan dibacakan di rapat resmi. Jadi begini, di saat rapat di komisi DPR pasti ada tenaga ahli pembuat kesimpulan. Setelah draft itu selesai diserahkan ke pimpinan rapat. Jika disetujui maka di akhir rapat, draft itu dibacakan untuk dikoreksi bersama dan menjadi kesimpulan yang mengikat.
Pada saat draft itu ditayangkan dan dibacakan, petugas pembuat kesimpulan harus siap untuk mengetik cepat dan mengubah diksi-diksi apa saja yang disarankan oleh anggota rapat.
Tak jarang, pembuat kesimpulan itu juga menyarankan diksi yang tepat. Butuh kesabaran dan sikap yang tenang. Kalau tipe orang yang grabag-grubug alias gugupan tidak akan cocok mengerjakan kesimpulan rapat. Panik ketika rapat chaos hanya karena perdebatan diksi. Nah, ketika hendak pembacaan kesimpulan saya selalu dipanggil untuk bertugas sebagai pencatat kesimpulan. Entah karena apa pertimbangannya, mungkin track record kali ya..eheeeem.
Merancang diksi agar bunyi dan imperatif butuh skills bukan saja kebiasaan menulis tetapi juga nalar dan misionaris. Apa itu misionaris? Jangan negatif thinking dulu. Maksudnya, membaca situasi rapat, mendengarkan apa saja pandangan peserta rapat, bila perlu mengarahkan. Iya mengarahkan. Ketika kita memiliki misi tertentu dari output rapat tersebut maka wajib mengarahkan, yaitu dengan memberikan data-data valid.
Dengan demikian, kesimpulan rapat yang dibuat oleh kita memiliki pijakan. Jika tanpa pijakan dari pendapat yang disampaikan peserta rapat, maka meskipun kita berkepentingan terhadap hasil rapat tersebut tidak akan bisa dilakukan karena tidak ada pijakan. Ini maksud saya dengan misionaris.
Misalnya, ketika rapat tentang kartu-kartu sakti KIP, KIS dan kartu apalah-apalah itu. Menurut saya dengan berbagai penelusuran literatur dan hasil kasak-kusuk serta analisis mendalam banyak hal yang harus dibenahi dari kartu-kartu itu.
Ketika rapat dengan para pengambil kebijakan saya juga berkepentingan bagaimana kesimpulan rapat itu menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan misi saya tersebut. Maka, saya arahkan agar ada peserta rapat yang bicara masalah-masalah itu. Lalu saya menghadangnya di kesimpulan sehingga menjadi sebuah kebijakan.
Memang saya tidak punya “hak suara” tetapi memberikan data valid mengenai suatu masalah adalah tugas saya. Maka, tidak salah juga mengarahkan karena memang berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Jihad diksi, istilah baru nih, mungkin istilah tepat untuk menggambarkan bahwa untuk memperjuangkan kepentingan orang banyak bukan hanya dengan demo, tapi juga dengan diksi. Diksi yang imperatif. Nah itu.**[harjasaputra]