Categories: Komunikasi

Pembunuhan Karakter dalam Drama Reality Show

Saya sempat suka terhadap tayangan Termehek-mehek dan Religi. Tapi lama-kelamaan ada pergeseran karakter: berubah menjadi acara mistis, supranatural, dan menjadi sangat mengada-ada. Bahkan di banyak episode ada pembunuhan karakter budaya. Di tahun 2007-2009 sempat ada Sinetron “Rahasia Ilahi” yang sempat booming, namun ada pembunuhan karakter yang fatal. Sinetron itu di satu sisi bagus tapi tidak sesuai dengan prinsip sifat Tuhan yang Cinta-Nya lebih luas dari murka-Nya.

Tuhan disosialisasikan sebagai Tuhan yang sangat pemarah dan sangat pendendam. Sedikit saja umatNya melanggar langsung diadzab dengan adzab yang mengerikan. Ini jelas pembunuhan karakter Tuhan. Tuhan justru Maha Penyayang. Apakah Ia mampu untuk melenyapkan manusia-manusia yang jahat? Jelas mampu karena Dia Tuhan, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Cinta Tuhan lebih luas dari Murka-Nya. Lucunya begini, apakah ini dampak negatif atau positif saya kurang tau. Dulu saat anak saya umur 4 taun kalau minta jajan terus dan tidak dikasih karena memang sudah jajan terus, bilangnya begini: “jangan pelit2 nanti kuburannya sempit lho”. Sampai sebegitunya menerap pada anak kecil.

Pada acara Drama Reality Show Religi dan Termehek-mehek pembunuhan karakter bukan pada karakter Tuhan, tapi pada budaya. Bahkan di antaranya ada upaya rekayasa rasis. Ini pun terjadi dalam Sinetron Rahasia Ilahi. Di sinetron ini orang yang berdosa dan diadzab itu justru orang desa dan kebanyakan Sunda atau Jawa lagi. Ini yang saya tidak sepakat banget. Seakan Tuhan itu subyektif, benci banget sama orang Sunda dan Jawa. Dengan kata lain, Tuhan tidak obyektif, artinya jika perbuatan itu dilakukan juga oleh suku lain, orang bule misalkan, harus terkena juga dampak yang sama. Tapi nyatanya kan tidak.

Pada Drama Reality Show Religi dan Termehek-mehek rekayasa rasis pun terjadi. Ritual-ritual mistik diidentikkan dengan budaya Jawa dan Sunda juga. Aneh, ada konvergensi rekayasa yang sama. Pencitraannya dukun yang memakai baju-baju adat Jawa atau Sunda, lalu membaca-baca mantra, kesurupan, dan bla…bla..bla. Apakah memang orang Jawa dan Sunda identik seperti itu ? Saya tidak sepakat.

Pembunuhan karakter yang lain adalah penyempitan fungsi agama. Agama menjadi semacam pelarian, bukan dihayati sebagai sebuah kebutuhan. Ketika sudah mentok kejahatannya lalu didatangi oleh seorang ahli agama, lantas bertobat. Apakah harus berbuat jahat dahulu untuk berbuat baik? Logika saya tidak bisa memahami pemikiran seperti ini. Karena nanti akan terbentuk stigma bahwa taat beragama itu nanti setelah puas merasakan semua hal yang melanggar aturan.

Saya sendiri pada bagian-bagian tertentu tertarik pada maraknya acara-acara TV yang religius, karena ternyata acara-acara TV sekarang sudah mulai beralih ke segmen keagamaan. Namun, ada sisi lain yang kita pun harus peka, harus kritis, karena kritis dan peka terhadap fenomena adalah ciri dari manusia dewasa.**[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com