Sensor internet yang diberlakukan oleh kementerian komunikasi dan informasi (Kemenkominfo) masih menjadi perdebatan di kalangan para pengamat IT dan masyarakat luas. Tujuan dari sensor internet tersebut sebetulnya bagus yaitu mencegah generasi muda terutama remaja dari hal-hal yang berbau pornografi. Karena generasi muda adalah harapan bangsa. Namun, kebijakan ini tidak holistik sehingga salah sasaran.
Lihat saja misalnya, majalah-majalah dewasa yang sampulnya “minim pakaian” banyak yang dipajang di tempat-tempat umum, seperti di lampu merah, stasiun kereta api, terminal, dan tempat umum lain. Majalah dewasa bukan berarti hanya majalah segmen dewasa seperti Playboy, ME dan kawan-kawannya, tetapi juga gambar-gambar “terbuka” yang ada di majalah atau koran-koran umum yang tidak dikategorikan segmen dewasa. Itu masih beredar luas di tempat umum. Remaja dan anak-anak masih mudah terkontaminasi oleh konten-konten porno dari media yang dipublikasikan di tempat umum tersebut.
Di Amerika, memang betul sensor ada. Tetapi tidak untuk internet, melainkan untuk majalah-majalah dewasa. Majalah dewasa dan media cetak lain yang memuat konten dewasa dilarang ditampilkan di tempat-tempat umum. Hanya di toko-toko khusus dewasa. Karena internet bersifat individual sementara majalah atau media cetak lain bersifat publik. Internet adalah aplikasi lunak (software) sementara media cetak berbentuk fisik.
Di Indonesia kebalikannya, internet yang bersifat individual disensor, tetapi tidak untuk majalah dan media cetak lainnya. Sehingga sensor yang tujuannya bagus menjadi sia-sia.
Untuk sensor konten internet tidak perlu melibatkan intervensi negara. Itu kembali pada sensor pribadi dan keluarga. Software-software parental control sudah banyak dijual bahkan banyak yang gratisan. Bisa diaplikasikan dengan mudah.
Konten internet merupakan bisnis informatika yang menyerap devisa besar. Dilihat dari aspek bisnis, pembatasan (sensor) tersebut jelas merugikan provider-provider telekomunikasi.
Dari aspek politik, sensor internet yang digagas oleh Menkominfo sebagai kader dari Partai PKS telah dipatahkan sendiri oleh kader yang lain. Anggota Dewan dari PKS sempat membuat ramai ranah politik dan tersiar di media-media, tertangkap basah mengakses konten porno. Besar kemungkinan dari media internet. Artinya, seberapa kuat sensor internet tersebut jelas akan bobol juga tergantung dari user-nya. Internet adalah aplikasi lunak, ranah logika, ranah ide. Di atas rumus internet yang diaplikasikan di sensor (entah memakai logika kalkulus, logika jaringan, para pakar IT yang tahu) pasti ada rumus logika yang lebih tinggi dari rumus yang digunakan. Karena teknologi berkembang terus. Hal ini juga diperkuat dengan belum adanya kebijakan multi-departemen untuk sensor. Jika tujuannya untuk membendung konten porno maka seharusnya dilakukan juga oleh lembaga sensor untuk media. Sehingga tujuannya tidak sia-sia.
Adapun dilihat dari aspek moral, sensor belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan moral. Perlu ada perbandingan empiris apakah kejahatan seksual sebelum diberlakukannya sensor berbeda jumlahnya dengan setelah berlakunya sensor. Ketika jumlah kejahatan seksual setelah berlakunya sensor berkurang maka hal ini bisa dikatakan memiliki hubungan signifikan. Penelitian mengenai hal ini belum ada sama sekali. Apa yang kita saksikan dari media-media elektronik dan cetak malah kejahatan atas nama perkosaan, pencabulan, dan sebagainya setelah sensor masih banyak terjadi. Angkanya tidak menurun. Kalau memang program itu berhasil, maka sajikan data empiris yang pasti kepada masyarakat mengenai hal tersebut. Namun jika tidak bisa menyajikan hal itu, maka bukalah kembali sensor internet. Sensorlah media cetak dan elektronik yang jelas-jelas sebagai konsumsi terbuka.** [harja saputra]
Tulisan ini semula dimuat dan menjadi Headlines di Kompasiana: http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/28/sensor-salah-tempat/