Ilmu sebagai cahaya bagi kehidupan manusia tidak diragukan lagi. Ilmu memiliki manfaat adalah pasti, tapi di satu titik tertentu ilmu juga bisa menjadi bumerang bagi seseorang. Ketika seseorang menuntut ilmu maka ia sangat terpuji, tetapi ketika ilmunya tersebut dijadikan tujuan maka sesungguhnya ilmunya telah menjadi berhala. Seorang bijak bahkan mengatakan, “Hijab (penghalang) tertinggi bagi manusia adalah ilmu”.
Ilmu menjadi tujuan otomatis berhala maya yang harus dihancurkan. Makanya disebut sebagai penghalang utama. Penghalang atas kebenaran hakiki. Pada saat bagaimana ilmu menjadi penghalang? Yaitu ketika Ilmunya hanya hinggap di kepala dan tidak berdampak apa-apa pada dirinya. Ilmu manusia tentang jam, misalnya, bisa berfungsi ketika menyadarkan kita pada pentingnya waktu. Ilmu tentang jam bukan hanya sekadar tahu tapi juga memberikan efek pada diri. Kalau hanya berhenti pada tahu ilmunya bisa saja terhalang. Contohnya ketika kita sedang membersihkan jam dinding dengan mengelapnya secara hati-hati lalu ada yang menanyakan jam berapa sekarang? Ia tidak mungkin bisa menjawab langsung pertanyaan itu padahal ia sedang dekat bahkan erat dengan jam dinding yang selalui dilihatnya. Ia akan melihat lagi arah jarum jam dinding yang sedang dipegangnya. Ini menunjukkan kepemilikan manusia bahkan kedekatan manusia pada sesuatu kadang terhalang oleh sesuatu yang lain.
Ilmu menjadi penghalang bisa juga berarti ketika ilmu dijadikan sebagai tujuan akhir apalagi untuk sekadar mengumpulkan gelar. Gelar-gelar keilmuan menjadi tujuan akhir ketika ilmu dari gelarnya tidak memberikan dampak apapun pada dirinya. Orang yang pintar dan tahu segala macam tetapi ia masih susah untuk mencari makan, sesungguhnya ilmunya belum berfungsi. Ilmunya belum berkah, karena belum bisa memberikan makan pada si empunya.
Begitu juga dengan menulis. Menulis untuk sekadar ingin terkenal sama artinya menjadikan menulis sebagai tujuan. Menulis dan menulis dan terus menulis, tentu akan terkenal. Tetapi bukan itu tujuan dari menulis. Persis seperti ilmu, menulis bisa juga sebagai penghalang, ketika menulis tidak memberikan dampak apapun pada peningkatan kualitas diri si penulis. Gembar-gembor masalah anti ketidakadilan tanpa diikuti dengan perilaku adil dari si penulis adalah contoh nyatanya. Itu berarti menulis hanya sebagai tujuan, bukan sebagai sarana.
Seharusnya menulis yang berarti menyampaikan pesan kepada orang lain diikuti juga dengan ikut berperilaku seperti apa yang dituliskan. Menyuguhkan tulisan tentang fakta ketidakadilan bukan berarti harus ikut untuk berbuat ketidakadilan seperti yang ditulis, tetapi untuk dirinya sekaligus mengajak orang lain agar tidak berperilaku seperti yang ditulis. Akan kehilangan makna ketika si penulisnya justru melakukan kejahatan sama dengan yang ditulis. Itu berarti menulis masih dijadikan sebagai tujuan, bukan sarana.
Menulis itu media atau medium. Yang terpenting adalah bisa memberikan bekas pada si penulisnya. Bukan tujuan akhir. Ini sama dengan pengertian berhala. Kata siapa ketika seseorang menyembah pada suatu benda itu berhala? Tidak. Ketika seseorang menyembah benda itu bukan berarti berhala, tetapi ketika menjadikan benda itu adalah tujuan akhir baru itu namanya berhala. Tuhan mengizinkan manusia untuk menyembah benda. Tuhan mengizinkan kita untuk “menyembah” orang tua karena ia wakil Tuhan di dunia. Berbakti pada orang tua adalah cara menyembahnya.
Maaf (ini mungkin sensitif tapi harus saya ungkapkan) Tuhan mengizinkan manusia untuk menyembah kabah (atau media-media religius lain) karena Tuhan tahu bahwa manusia butuh media. Tetapi ia bisa menjadi berhala ketika kabah menjadi tujuan bukan sebagai media. Kalau saya sajikan contoh-contoh yang lain, maka dalam setiap agama pasti ada personalisasi Tuhan yang berbentuk materi (bisa diraba-dilihat dan dipanca indera oleh manusia)–tapi saya memilih untuk tidak menyebutkan satu per satu karena sangat sensitif. Itu karena Tuhan tahu bahwa manusia butuh media, karena manusia itu sendiri materi maka harus lewat materi. Tetapi itu semua bisa menjadi berhala ketika itu semua dianggap sebagai tujuan. Tujuan Tuhan menurunkan media berbentuk personalisasi bukan itu. Itu semua adalah media yang bisa mengantarkan pada Yang Hakiki.**[harja saputra]