Jika ada yang lebih terang daripada matahari maka itulah buku. Matahari menyinari hal-hal yang bersifat materi, sementara buku merupakan pintunya ilmu yang menyinari kesadaran, menyinari akal, dan menyinari alam semesta. Ilmulah yang membedakan manusia dengan yang lain. Orang berilmu tidak akan tersesat dan akan mampu hidup di manapun. Untuk berbuat kejahatan saja butuh ilmu, apalagi untuk berbuat baik, semuanya butuh ilmu.
Tak diragukan lagi, buku sebagai pintunya ilmu menjadi tak terbantahkan dan menjadi barang berharga. Bagi para pemikir besar, buku lebih berharga dari apapun. Ibn Sina, filosof besar yang dikenal di Barat dengan nama Avicenna, lebih mementingkan membawa buku pada saat bepergian daripada lainnya. Bahkan, hampir semua kantung-kantung perbekalan yang dibawa oleh kuda dipenuhi oleh buku.
Ada cerita menarik. Seorang pemikir besar asal Iran merayakan pernikahan dengan seorang gadis. Siangnya dilakukan acara ijab-qabul dan dilanjutkan resepsi. Tentu, resepsinya berbeda dengan budaya di Indonesia. Menjelang malam pertama, tak sengaja ia masuk ke ruangan perpustakaan pribadinya. Dilihat satu buku yang baru saja datang dari penerbit dan belum sempat dibaca. Ia melihat-lihat sampul buku itu dan awalnya hanya ingin membaca sekilas saja. Tapi, karena isinya yang menarik ia pun melanjutkan membaca lembar demi lembar, hingga tak terasa waktu berlalu. Pagi pun tiba. Malam pertamanya dihabiskan dengan “mencumbu” buku.
Memang agak terdengar lebay, tapi percayalah buku dapat menyihir pembacanya. Kata-kata dalam buku ibarat bidadari yang tersusun membentuk gugus makna dan menjadi satu pengetahuan. Karena kata yang membentuk suatu kalimat dalam buku sudah diperhitungkan matang-matang oleh penulis maupun editornya yang dapat mewakili maksud atau pesan dari penulis.
Buku secara umum terdiri dari dua jenis: Buku Serius dan Buku Pop. Diktat kuliah atau pelajaran termasuk ke dalam jenis buku serius. Begitu juga buku seri filsafat, agama, dan cabang-cabang ilmu lain yang disampaikan dalam narasi datar termasuk ke dalam buku serius. Buku serius lebih bersifat untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat Informatif atau pemikiran (thinking). Karena manusia tidak bisa hidup tanpa informasi.
Adapun buku pop adalah buku yang disajikan tidak dengan narasi datar. Narasinya lebih bertujuan untuk menggugah emosi atau perasaan (feeling), misalnya perasaan lucu, marah, kesal, dan perasaan emosional lain. Tak jarang penyajiannya pun dikemas sedemikian rupa untuk memancing sisi emosi, sisi seni, dan sisi intuisi. Buku novel, cerpen, chicken soup, buku humor, kartun, termasuk buku pop.
Pembagian di atas memang tidak bersifat dikhotomis, karena ada juga buku yang menggabungkan dua unsur tersebut. Novel Da Vinci Code misalnya merupakan buku novel tetapi dalam memahaminya dibutuhkan nalar yang tinggi. Peminat buku-buku ringan (buku pop) tidak cocok dengan novel ini.
Beda orang maka beda pula jenis buku yang dibacanya. Ini tergantung dari tipe kepribadiannya. Tipe kepribadian manusia secara umum terbagi dua juga: tipe Thinking dan tipe Feeling. Tipe manusia yang condong ke thinking memiliki kecendrungan pada berpikir logis. Adapun tipe feeling lebih cenderung mengutamakan perasaan yang bersifat subyektif dan imajinatif (meskipun penggolongan ini pun tidak murni dikhotomis).
Maka, orang yang memiliki tipe kepribadian thinking akan memilih tipe buku serius dan orang yang memiliki tipe kepribadian feeling akan memilih buku pop yang ringan dibaca (tidak butuh mengerutkan dahi). Tipe kepribadian akan mempengaruhi jenis buku yang dibaca merupakan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai penelitian yang tidak mungkin saya sajikan satu persatu angka-angka hasilnya di sini. Sifat hubungannya adalah resiprokal (bolak-balik): kepribadian mempengaruhi jenis buku yang dibaca dan sebaliknya jenis buku yang dibaca pun akan mempengaruhi kepribadian seseorang.
Tidak hanya itu, tipe kepribadian dan jenis buku yang dibaca pun memiliki pengaruh terhadap gaya menulis seseorang. Tipe kepribadian thinking yang suka baca buku serius umumnya menulis dengan gaya datar, tidak meledak-ledak, dan fokus pada tema-tema serius. Sebaliknya, tipe kepribadian feeling yang banyak membaca buku pop akan menulis tema tulisan yang pop juga: novel, cerpen, fiksi prosa, puisi, humor, dan lainnya. Dengan kata lain, apa yang dituliskan seseorang adalah apa yang ada di kepalanya dari hasil membaca.
Jika dikembangkan lebih jauh, pembahasan ini akan sampai juga pada alasan kenapa, misalnya, film-film Indonesia tidak kaya perspektif, malah yang muncul: jika tidak mistik (hantuisme) alternatifnya film kekerasan fisik atau eksploitasi seksualitas. Kasarnya–maaf–mayoritas film Indonesia jika diperas maka yang tersisa hanya kain kapan, darah, dan sperma. Ini karena film merupakan produk turunan dari hasil baca yang memunculkan tulisan naskah film. Tidak ada film yang bebas dari naskah. Sebab utamanya adalah karena apa yang ada di kepala penulis naskah tidak memiliki perspektif yang kaya, hanya satu perspektif saja, yaitu corak pop. Padahal, film yang baik, seperti karya-karya Spielberg merupakan hasil karya dari hasil baca dari buku-buku yang mengandung ajaran-ajaran filosofis. Film meskipun bercorak hiburan tetapi jika dikemas dengan diperkaya nuansa filosofis memiliki nilai yang berbeda. Bahkan film dapat menjadi sarana sosialisasi idealisme tertentu tanpa disadari oleh penontonnya. Ada proses inception pemikiran tertentu yang hendak disampaikan kepada penonton.
Intinya, tak dapat diragukan bahwa muara segala hal yang menjadi tulang punggung budaya suatu bangsa adalah buku, minat baca, dan budaya menulis yang berkaitan satu sama lain.**[harja saputra]
Dimuat juga di Kompasiana: http://media.kompasiana.com/buku/2011/07/01/kenali-kepribadian-baca-buku-dan-tulis/
Lihat Komentar
Saya tertarik dengan tulisan anda. Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis yang bisa anda kunjungi di Kumpulan-kumpulan EBOOK