Jurnalisme, baik reportase maupun opini, bukan penilaian sepihak apalagi bermaksud menyebarkan kebencian. Jurnalisme harus sesuai dengan konsep dasar 5W + 1H:
1. Harus dilihat apa yang terjadi. Dalam mendeskripsikan apa yang terjadi, harus dilihat secara berimbang, istilahnya cover both side. Hal ini untuk menghindari bias subyektivitas dari pewarta berita.
2. Siapa pelakunya: ketika menyoroti pelaku maka kaidahnya tidak boleh menggeneralisasi karena fokusnya pada apa yang ditulis, logika generalisasi sangat berbahaya. Karena jurnalisme tidak mengenal generalisasi.
Jurnalisme adalah menyajikan suatu fakta atau kejadian yang jelas tidak semua terwakili oleh kejadian itu. Karena suatu kejadian sifatnya induktif (kasus khusus). Generalisasi bisa dilakukan kalau ia melakukan penelitian terhadap seluruh obyek yang ditulis.
Misal, penilaian tentang “Semua DPR atau anggota parpol adalah Koruptor”. Dari mana bisa menyimpulkan bahwa semua anggota DPR atau anggota parpol adalah koruptor? Kalau jawabannya: “Ya karena dari berita-berita yang ada”.
Pertanyaan selanjutnya, “Apakah semua (semua itu seluruh alias all alias kabeh) seperti itu? Apakah Anda telah melakukan penelitian terhadap seluruhnya?”
3. Di mana itu terjadi: kata di mana menunjukkan tempat. Artinya ada batasan wilayah, apa yang terjadi di sini belum tentu terjadi di tempat lain. Tempat dibatasi oleh ruang. Ketika ruang berbeda maka bisa jadi kasusnya akan berbeda. Tidak bisa digeneralisasikan semuanya ketika tempatnya berbeda.
4. Kapan itu terjadi: kapan menunjukkan waktu. Dengan kata lain ada batasan timeline, tidak bisa digeneralisasi apa yang terjadi hari ini akan terjadi juga besok atau nanti.
5. Kenapa itu terjadi: analisis penyebab harus lebih obyektif bukan dari pendapat pribadi yang absurd apalagi dengan kata-kata provokatif, seperti: “Andai Wakil Rakyat dikubur hidup-hidup, DPR lebih bodoh daripada sapi, dan ungkapan lain”. Ini bukan jurnalisme, tapi umpatan preman.
6. Bagaimana itu terjadi atau bagaimana menyikapi dan solusi: Di sini yang sering meluas kemana-mana. Penilaian terhadap satu kasus dikaitkan dengan “bagaimana” selalu subyektif.
Untuk itu diperlukan kearifan dalam menilai. Karena umumnya ketika jurnalis sudah sampai ke tahap “bagaimana” maka pendapat-pendapat pribadi muncul. Bias subyektivitas tidak bisa dihindari.
Ketika 5W + 1 H sebagai konsep dasar jurnalisme di atas tidak menjadi patokan oleh Kompasianer, malah yang terjadi adalah umpatan-umpatan kalimat kotor dari penulisnya, maka jurnalismenya berarti “jurnalisme sampah” karena yang keluar hanya ucapan kotor.
Istilah “Jurnalisme Sampah” mengacu ke istilah yang digunakan oleh Harold Evans, Mantan Editor Senior Majalah Time, ketika ia mengungkapkan arogansi dalam tulisan.
Evans, menyebutnya dengan istilah “Junk Journalism” atau di tempat lain ia menyebutnya dengan istilah “Trash Journalism”, yaitu ketika arogansi muncul dalam tulisan dengan menggunakan kata-kata kotor.
Semua tulisan adalah menyampaikan pesan kepada orang lain, baik opini maupun reportase pasti mengandung 5W1H, tetapi jangan ada generalisasi apalagi dengan perkataan kotor. Sampah adalah kotor, maka tulisan yang mencaci-maki, menghujat, over generalisasi, tulisan tersebut adalah tulisan Jurnalisme Sampah.
Sampah dalam tulisan ini bukan berarti suatu tulisan bermanfaat atau tidak bermanfaat itu sampah atau bukan, tetapi lebih pada bahasa yang digunakan, karena bahasa adalah nyawa dari tulisan. Kalau manfaat, setiap orang pasti berbeda dalam menilai tulisan bermanfaat atau tidaknya.
Banyak cara lain untuk mengungkapkan protes dengan tetap santun. Misal sindiran, karena kalau menggunakan bahasa kekerasan yang kotor, berarti mentolerir untuk membiasakan arogan.
Anarkhisme dalam tulisan adalah penggunaan cacian dsb. Bahkan jika yang dituju tidak bisa terima dengan umpatan itu bisa kena pasal hukum, yaitu penghinaan atau pencemaran nama baik.
Kalaupun hendak menulis yang sifatnya unek-unek pribadi, maka bukan di Kompasiana tempatnya, karena Kompasiana masih terikat oleh kaidah-kaidah Jurnalisme.
Menulislah di Blog pribadi, atau layangkan Surat Pembaca ke media-media cetak. Silahkan keluarkan kata-kata kotor semaunya (itu pun jika tidak diedit oleh editornya, karena koran pasti memuat berdasarkan etika jurnalistik juga).**[harja saputra]