Komunikasi

Jurnalisme Gosip

Ilustrasi harjasaputra.com

Acara di TransTV pagi hari menampilkan hal yang paradoks: pukul 05.30-06.30 diisi dengan acara rohani (kuliah subuh) tetapi kemudian pukul 06.30 dilanjutkan dengan acara gosip. Paradoksal yang ada bersifat vertikal dan horisontal.

Paradoksal vertikalnya adalah yang satu bernuansa langit dan satunya lagi sangat ke “dasar bumi”, menembus relung-relung kehidupan pribadi dari orang per orang. Bahkan tak jarang aib seseorang. Yang satu mengajarkan untuk menutupi aib, satunya lagi menunjukkan pembangkangan terhadap hal tersebut. Pemisah antara “surga” dan “neraka” dalam media memang sangat tipis.

Adapun paradoks horisontalnya adalah pada prinsip jurnalisme yang dianut oleh media tersebut. Rating kedua acara tersebut sangat tinggi. Keduanya termasuk acara yang diminati oleh pemirsa.

Paradoks terjadi pada diri pemirsa: setelah menonton siraman ruhani lalu dilanjutkan memperbincangkan orang lain, artis-artis trtentu yang memiliki kasus.

Paradoks juga terjadi pada agenda setting yang digunakan. Teori agenda setting dalam media mengatakan bahwa siaran TV, berita koran, atau apapun jenis pesan dalam media ditentukan oleh 2 jenis setting: agenda media atau agenda publik.

Agenda media adalah agenda yang dibuat oleh media untuk mempengaruhi pemirsa pada tujuan tertentu. Sedangkan agenda publik adalah siaran yang dimuat dikarenakan adanya agenda publik yang bersifat umum.

Dalam berita saja, meskipun berita lebih condong ke agenda publik karena memuat kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat tetapi tidak bisa lepas dari agenda media. Ada subyektivitas media yang mempengaruhi pemberitaan.

Paradoks horisontal dalam agenda setting tersebut adalah: yang satu murni agenda publik (acara ruhani) dan satunya murni agenda media. Kenapa acara gosip disebut agenda media dan bukan agenda publik? Karena media sangat menentukan apa yang disuguhkan dalam acara gosip.

Acara gosip menjadi salah satu acara favorit sejak media berkreasi menayangkan hal tersebut. Sehingga pelan tapi pasti menjadi konsumsi dan seakan-akan menjadi agenda publik.

Paradoks-paradoks tersebutlah yang hingga saat ini menimbulkan perdebatan apakah acara gosip termasuk dalam jurnalistik atau di luar jalur jurnalistik. Apakah ada yang namanya jurnalisme gosip? Jika ada, apakah jurnalisme gosip sebagai sesuatu yang baru dan berdiri sendiri? Jika jurnalisme gosip independen, maka tujuan dari jurnalismenya apa?

Penyampaian pesan tidak terlepas dari tujuan untuk mendapat feedback dari pemirsa. Ada tujuan tertentu dalam setiap pesan. Masyarakat harus membuat keputusan terhadap setiap pesan yang disuguhkan kepada mereka. Masyarakat jangan selalu menjadi obyek media. Publik sudah saatnya menjadi pengontrol media.** [harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share