Mencermati polemik di Kompasiana masalah hapus-menghapus komentar yang ditulis oleh dua Kompasianer, OMT dan Adi Supriadi yang cukup hangat. Saya mau ikut dalam pusaran polemik ini, bukan bermaksud lebih memperkeruh, bukan juga untuk mendamaikan karena saya bukan utusan Dewan Keamanan PBB. Saya hanya mengikuti saran dari penulis bahwa tulisannya adalah untuk memunculkan tulisan lain. Tulisan dibalas dengan tulisan. Maka, inilah cara pandang saya terhadap masalah menghapus tulisan.
Landasan utama yang menjadi pijakan mas Adi Supriadi adalah “Hak”: Menghapus itu adalah hak dari penulis. Jika menghapus sebagai bentuk dari tindakan (action) adalah hak, maka saya pun mempunyai hak untuk berbicara. Orang lain bebas bertindak, maka saya pun bebas berbicara. Jika orang lain bebas bertindak untuk menghapus sementara orang yang memprotes saja tidak boleh maka dimana letak hak itu? Apakah hak hanya dimiliki oleh orang yang bertindak? Sementara orang yang memprotes tindakan itu tidak punya hak?
Di sini saya bukan bermaksud membela siapapun. Hanya menulis saja. Isinya silahkan pembaca menilai. Saya sendiri (setahu saya selama di Kompasiana) tidak pernah bermusuhan dengan sesama Kompasianer. Setidaknya tidak pernah menganggap ada musuh di sini, sehingga saya tidak pernah menghapus komentar apapun.
Mari berpikir lebih jernih, kita lihat sisi yang berbeda. Kita lihat apakah dalih “hak” bisa dijadikan alibi untuk menghapus komentar? Tidak salah juga jika memiliki pandangan bahwa menghapus komentar adalah hak penulis karena memang disediakan fasilitasnya oleh Admin. Tetapi harus diingat juga, konsep “hak” adalah konsep dasar, ada yang lebih tinggi dari itu.
Kita hidup apakah mau jadi orang jahat atau jadi orang baik itu juga hak. Apakah kita akan berdalih bahwa penjahat biarkan saja menjadi penjahat karena itu haknya? Jika dilihat dari hak memang betul, tetapi Anda tentu bisa menjawabnya. Hidup itu harus berusaha lebih baik, bukan berkutat di level dasar, di level hak.
Bagi saya, tindakan menghapus dengan alasan tidak sependapat, atau komentar itu berseberangan dengan ide penulisnya, tidak perlu dihapus. Bahkan, orang yang menyerang dengan kata-kata kotor tidak perlu dihapus juga. Bisa jadi itu karena ada “celah” yang sangat lebar di tulisan yang kita bikin sehingga mengundang orang lain untuk berkomentar kasar. Dari sisi penulis tidak perlu berkomentar atau menghapus, biarkan orang lain yang menilai, apakah akan berpihak pada si komentator yang kasar atau pada si penulis. Sensornya bukan sensor represif, tetapi sensor demokratis, biarkan pembaca yang menilai.
Bagi yang komentar, perlu juga dijadikan pedoman, bahwa mencaci, menggunakan kata-kata kotor itu tidak baik. Sebetulnya berkomentar yang pedas bahkan mencaci juga adalah hak si komentator bukan? Tetapi itu buktinya tidak senang juga kan? Jadi hak tidak bisa digunakan sebagai dalih, yang harus dijadikan pedoman adalah bagaimana “cara yang lebih baik”.
Mari kita menuju ke arah menulis dan berkomentar yang lebih baik, bukan masalah hak atau bukan hak. Karena kita di sini bukan untuk memperebutkan hak, karena tidak ada hak yang dirampas di Kompasiana. Kita di sini untuk berbagi. Di sini kita bukan memperebutkan kekuasaan dengannya tidak perlu bersaing secara represif. Kita di sini juga bukan untuk cari uang, dengannya tidak perlu dengan cara-cara curang: saling pojok memojokkan. Bukankah Nabi-nabi dulu bukan hanya dicaci, dimaki, bahkan dikejar untuk dibunuh, dilempar oleh kotoran? Ini yang harus jadi pegangan. Semasih kita menyebarkan kedamaian dan menulis dengan benar saya yakin kondisi akan aman terkendali.**[harja saputra]