Isu-isu politik memang selalu “seksi”, menarik untuk ditatap dan diperbincangkan dalam berbagai perspektif. Keseksian isu politik terletak pada hal-hal yang kelihatan terbuka dan keminimannya. Isu politik yang terbuka adalah yang mengemuka di permukaan tetapi tidak tertarik pada realitas yang lebih dalam, yang bisa jadi berbeda dengan apa yang ada di permukaan. Mata manusia pasti selalu terpikat pada hal-hal yang terbuka, karena menggugah hasrat sensasi. Padahal, kalau “digauli” secara intim lebih dalam seringkali tak seindah sensasinya. Isu politik yang terbuka menunjuk ke bad news. Bad news selalu seksi karena sangat terbuka. Bad news is good news, good news is bad news.
Isu politik yang minim adalah kasus yang tidak lengkap “pakaian”-nya. Ketika kasus hukum yang belum diproses secara hukum, itulah yang dinamakan tidak lengkap pakaiannya. Ketika sudah lengkap pakaiannya maka sudah tidak seksi lagi. Kasus Nazarudin adalah contoh yang kasat mata. Kasus itu kasus hukum tapi belum lengkap pakaiannya karena belum diproses hukum. Karena keminiman itulah berita tentangnya menjadi sangat seksi.
Sebetulnya, jika dilihat dari teori Framing, setiap peristiwa ketika disajikan ke publik ada alasan yang melatarbelakanginya. Kenapa peristiwa dipahami dalam kerangka tertentu atau bingkai tertentu, tidak bingkai yang lain, bukan semata-mata disebabkan oleh struktur skema wartawan, melainkan juga rutinitas kerja dan institusi media yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan peristiwa.
Berita dalam teori Framing, bukanlah refleksi atau distorsi dari realitas yang berada di luar sana. Karena tidak ada realitas dalam arti riil yang berada di luar diri wartawan. Kalaulah berita itu merefleksikan sesuatu maka refleksi itu adalah praktik pekerja yang memproduksi berita. Berita adalah apa yang dibuat oleh pembuat berita.
Tetapi jangan lupa juga bahwa proses produksi berita dipengaruhi juga oleh adanya seleksi berita (selectivity of news). Seleksi dimulai dari wartawan di lapangan yang akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak, mana peristiwa yang dapat diberitakan dan yang tidak. Setelah itu berita masuk ke tangan redaktur dan diolah sehingga menjadi sajian yang layak untuk dikonsumsi publik. Karena berangkat dari situ maka tentunya subyektivitas tidak dapat dihindarkan.
Masih dalam teori Framing, berita mirip dengan pengujian hipotesis; peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip dan pernyataan yang diungkapkan, semua perangkat itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi hipotesis yang dibuat. Pengujian hipotesis ini digunakan untuk menguji struktur tematik dari berita. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan. Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis. Misalnya Majalah Tempo minggu ini menampilkan berita dengan headline masalah keterkaitan politisi PAN dengan praktek suap-menyuap dalam izin pemanfaatan hutan. Ini adalah sisi perspektif wartawan untuk menguji hipotesis mengenai adanya keterlibatan politisi di kementerian Kehutanan. Tetapi hal ini hanya menyajikan investigasi dari wartawan Tempo, bisa saja berbeda hasilnya jika dilakukan oleh wartawan lain. Segmentasi media sangat menentukan arah peliputan.
Hipotesis saya, pemberitaan yang akhir-akhir ini berkembang, terutama menyangkut berita-berita mengenai politisi Demokrat, ada skema besar untuk mengepung dominasi Demokrat. Meskipun, dalam beberapa hal, harus dilihat juga sebagai fungsi kontrol sosial. Menjadi semacam warning, karena pers memiliki fungsi sebagai watchdog yang harus menggonggong jika ada hal yang dirasakan salah. Tetapi muatan politisnya jelas lebih besar daripada sekadar pemberian informasi begitu saja. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ada komodifikasi, yaitu proses pentransformasian nilai guna (nilai fungsi media) menjadi nilai tukar (nilai yang didasarkan pada pasar atau nilai citra) di dalam operasionalisasi media.
Persepsi orang bisa bermacam-macam dalam menyikapi berbagai isu yang diberitakan. Karena kita tidak hadir di ruang hampa, dipengaruhi oleh berbagai macam. Maka, cara yang baik adalah tidak terjebak pada hipotesis buta, melainkan harus dilihat pada tataran kenyataannya. Kenyataan memerlukan pembuktian empiris, bisa melibatkan lembaga hukum (jika itu kasus hukum), atau lembaga yang representatif lainnya untuk membuktikan apa yang diberitakan.**[harja saputra]
Semula dimuat di Kompasiana: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/07/01/berita-adalah-hipotesis/