Mungkin kita menganggap bahwa mendengarkan itu gampang. Hanya memasang telinga untuk mendengarkan pembicaraan orang lain, atau jika dalam menulis hanya menyimak arah pembicaraan dalam tulisan. Tapi jangan salah, mendengarkan itu ternyata susah.
Mungkin banyak orang yang pintar menjadi “pembicara”, tetapi belum tentu pintar menjadi “pendengar”. Banyak orang pintar menjadi penulis, tetapi belum tentu pintar menjadi penyimak tulisan yang baik.
Belajar mendengarkan ternyata ada pelajarannya. Dalam buku Human Communication yang ditulis oleh Tubbs & Moss sebagai buku wajib bagi para mahasiswa Ilmu Komunikasi yang berisi prinsip-prinsip komunikasi, di bab terakhirnya dibahas khusus mengenai “Belajar Mendengarkan” atau yang disebut oleh Tubbs & Moss dengan istilah Silent Communication.
Sekilas nampak aneh, buku komunikasi yang mengajarkan bagaimana berkomunikasi tetapi di dalamnya mengajarkan untuk tidak berkomunikasi.
Apa itu komunikasi? Komunikasi adalah menyampaikan pesan dari pembicara kepada khalayak sasaran untuk mendapat umpan balik yang diharapkan oleh penyampai pesan. Penekanan komunikasi adalah pada “penyampaian pesan”. Dengannya, berarti Silent Communication seakan berlawanan dengan komunikasi itu sendiri, yaitu mengajarkan untuk diam sementara komunikasi mengajarkan untuk bicara.
Lantas apa itu Silent Communication atau belajar mendengarkan? Belajar mendengarkan ternyata juga bagian dari komunikasi. Karena, menurut Tubbs & Moss, dalam kasus-kasus tertentu mendengarkan lebih efektif daripada bicara. Diam lebih berarti daripada unjuk bicara.
Tentunya, tidak dalam semua hal kita harus diam. Ia memberikan contoh bagaimana “Belajar Mendengarkan” diterapkan. Misalnya, ketika kita sedang berkomunikasi dengan orang yang sudah tua maka jangan sekali-kali menimpali orang yang sudah tua. Karena umumnya kebutuhan orang yang sudah tua umurnya adalah kebutuhan untuk didengarkan bukan untuk diceramahi.
Dalam kasus-kasus lain, bukan hanya orang tua saja yang memiliki kebutuhan untuk didengarkan. Ketika konsumen memberi komplain misalnya, maka si Customer Service yang melayani komplain harus belajar mendengarkan.
Jangan sekali-kai menimpali konsumen yang komplain, karena jika demikian yang ada malah cekcok mulut yang tidak berkesudahan. Belajarlah mendengarkan karena manusia juga memiliki kebutuhan dasar untuk didengarkan.
Dalam banyak hal, mendengarkan itu menjadi kunci utama dari kesuksesan berkomunikasi. Tidak saja dengan berkata-kata yang banyak hingga membusa, tetapi cukup dengan pasang telinga komunikasinya malah menjadi efektif. Contoh lain lagi adalah ketika seorang manajer atau direktur menghadapi demo massal dari para karyawannya.
Dalam contoh ini komunikasi yang efektif adalah mendengarkan bukan berbicara. Direktur tinggal mendengarkan apa keinginan dari karyawan tersebut. Jangan sekali-kali mendominasi pembicaraan mentang-mentang atasan. Dalam kasus ini, dibutuhkan kebijaksanaan dalam memilih kapan harus bicara dan kapan harus diam. Inilah yang disebut oleh pengarang buku di atas dengan kekuatan Silent Communication.
Dalam dunia tulis-menulis pun sama, karena menulis juga bagian dari komunikasi. Ada saatnya kita harus mengeluarkan ide-ide kita, bahkan protes keras dengan mengajukan kritik-kritik bombastis. Tak jarang dengan kata-kata pedas. Tapi harus ada saatnya belajar untuk mendengarkan tulisan.
Mendengarkan tulisan bukan artinya tulisan itu ditempelkan ke kuping, tapi menunjukkan sikap meskipun ada yang tidak setuju terhadap apa yang diucapkan atau ditulis oleh orang lain tidak lantas memprotesnya secara keras.
Kalaupun harus memprotes disampaikan dengan baik. Karena watak manusia dalam berkomunikasi adalah seperti bola dan air. Semakin bola yang berisi penuh angin ditekan ke dalam air, maka air akan semakin menolak bola tersebut. Dibutuhkan kearifan yang tinggi dalam berkomunikasi.
Jika masih ada anggapan bahwa komunikasi itu harus selamanya bicara, berarti ia tidak masuk pada saat pelajaran terakhir tentang belajar mendengarkan ini..**[harja saputra]