”Paaak..minta paaaakkk..”
Anda tentu tidak asing lagi dengan bunyi iklan di atas, iklan dari salah satu operator seluler yang berisi adegan lucu antara pengemis dengan pengendara mobil di sebuah pemberhentian lampu merah. Si Pengemudi tidak mau memberi pada pengemis, malah mengeraskan musik di handphonenya. Pengemis tak habis akal, dia nelepon pake HP untuk bilang ”Paaak minta paaak…”, sampai di rumah pun ia tetap menelepon dan berujar, ”Paaak minta paaak”..
Iklan itu rasanya tidak nyambung dengan produk yang diiklankan, tetapi begitulah kreativitas dari pembikin iklan dituntut untuk menarik perhatian pemirsa. Di antaranya dengan menggunakan unsur humor dalam iklan. Karena dalam penggunaan humor dalam iklan, isi iklan tidak harus nyambung dengan produknya. Ini bukan kata saya, tetapi menurut penelitian yang dilakukan oleh Weinberger dan Gulas (Journal of Advertising, 2002).
Salah satu faktor yang memicu para pembuat iklan untuk menggali kreativitasnya adalah adanya fenomena makin beragamnya iklan di televisi. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh pembuat iklan. Dengannya, para praktisi iklan dituntut untuk membuat iklan yang efektif, yaitu yang mudah diterima oleh masyarakat. Karena setiap iklan mempunyai suatu tujuan sama, yaitu untuk memberikan informasi tentang suatu merek dan lebih jauhnya untuk mempengaruhi khalayak agar menggunakan merek tersebut.
Senjata agar iklan dapat menarik minat adalah menggunakan humor. Seperti pernah diteliti oleh Weinberger dan Gulas, bahwa humor memiliki peranan sebesar 94% dalam menarik perhatian khalayak. Para peneliti eksekutif tentang periklanan percaya bahwa humor menjadi salah satu faktor superior dalam meningkatkan perhatian khalayak terhadap iklan. Pemirsa, bahkan secara sengaja menyimak isi dari iklan tersebut. Artinya iklan tidak berlalu begitu saja.
Penelitian lain dilakukan oleh Cline dan Kellaris (Journal of Advertising, 2007). Ia menggunakan istilah NFH (Need for Humor) sebagai kebutuhan dari khalayak yang bersifat dasar. Dalam kesimpulannya Cline dan Kellaris mengatakan, ”Penggunaan yang luas dari humor dalam periklanan menegaskan kepercayaan yang kuat bahwa humor dapat meningkatkan efektivitas iklan”.
Dari jenisnya, humor dapat dikelompokkan menjadi 7 jenis: (1) Pun (kata-kata jenaka), (2) An Understatement (pengungkapan kalimat yang bukan sebenarnya atau plesetan), (3) A joke (gurauan), (4) Ludicrous (adegan menggelikan), (5) Satire (sindiran), (6) Irony (bertentangan dengan realitas), (7) Humorous intent (melawak).
Dilihat dari jenis humor tersebut, unsur humor dalam iklan sebuah operator seluler di atas, termasuk ke dalam jenis humor Ludicrous (adegan yang lucu dan menggelikan).
Hal penting lain dari hasil penelitian Clien dan Cellaris adalah bahwa humor dalam iklan ternyata tidak merusak pemahaman (comprehension) tentang produk. Selain itu, humor tidak menambah kredibilitas sumber. Artinya, meskipun iklannya terkesan tidak nyambung, tetapi tidak akan merusak citra dari produk, karena yang ditonjolkan adalah asosiasi antara iklan yang lucu dengan siapa pengiklannya. Tentu orang akan bertanya-tanya, iklan apa sih yang lucu itu, oh iklan produk itu toh. Tetapi, perlu diperhatikan juga, bahwa humor akan lebih berhasil digunakan pada produk yang sudah mapan daripada produk baru.
Contoh penggunaan humor dalam iklan yang lain dapat mudah dilihat, yaitu pada iklan sebuah produk rokok yang dulu mengusung tagline ”Tanya Kenapa”. Atau pada iklan merek rokok lain yang kini menampilkan iklan berisi humor namun mengandung kritik sosial dengan memunculkan iklan kambing diakhiri dengan tulisan ”Rumput Gue lebih Asik dari Tetangga”. Termasuk juga iklan tematik Jin dari merek rokok lainnya, yang mengandung unsur kritik sosial, ”Gampang, bisa diatur, wani piro”. Anehnya, kreativitas iklan justru banyak terlihat pada produk-produk rokok. Kenapa itu terjadi? Tanya kenapa…**[harja saputra]
Dimuat juga di Kompasiana: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/07/25/kenapa-iklan-yang-pake-humor-selalu-menarik/