Haidar Bagir (CEO Mizan Publishing, penerima award “The Best CEO” versi Majalah SWA 2008) dalam sebuah diskusi mengatakan, “Tidak mungkin pemikiran atau tulisan kita benar-benar original. Tetap dipengaruhi oleh orang lain. Karena kita hidup bukan di ruang hampa. Bahkan karya ilmiah sekalipun tidak bisa original, buktinya banyak kutipan pendapat orang lain. Originalitas bukan berarti tanpa pengaruh orang lain, tetapi berani mengakui pendapat orang lain tersebut dan tak segan-segan untuk melakukan kritik terhadap pendapat orang lain. Tetap saja kita harus mengutip. Originalitas ide adalah sintesis dan antitesis dari banyak pendapat orang lain.”
Ilmu pengetahuan berkembang bukan dari originalitas, tetapi kesinambungan dari pemikiran atau penelitian orang lain. Belajar pun begitu. Misal, guru A menyampaikan ilmunya sebagai intisari hasil membaca dari 300 buku dan 100 guru, disampaikan ke muridnya kesimpulan yang ia peroleh. Maka si murid tak perlu lagi melewati fase belajar yang dilewati si guru, cukup menerima apa yang disampaikan. Berarti si murid menerima ilmu yang berupa intisari dari 300+100. Guru B menyampaikan ilmunya sebagai hasil belajar dari 450 buku dan 125 guru. Disampaikanlah kepada muridnya kesimpulan dari yang ia peroleh. Si Murid berarti memperoleh tambahan ilmu sebagai intisari dari 450+125+300+100. Begitu seterusnya. Maka si murid ketika berpendapat atau menjadi guru akan menyampaikan hasil dari kesimpulan 450+125+300+100+1+1 (1 adalah kesimpulan pribadi dari murid atas apa yang disampaikan guru-gurunya). Terus begitu. Maka ilmu pengetahuan terus berkembang pesat.
Seorang bijak mengatakan, “Sejarah itu berulang terus. Tidak ada hal baru dalam hidup, hanya berganti aktor dan waktu. Sejarahnya sama. Kebaikan dan kejahatan pun tetap selama-lamanya. Aktornya yang berbeda.” Itu berarti ada yang tetap, penilaian kita terhadap nilai-nilai cenderung konstan dan akan sama dengan penilaian orang terdahulu. Hanya saja kasusnya berbeda. Di sinilah pentingnya membaca sejarah.
Originalitas pemikiran adalah kumpulan dari pemikiran-pemikiran yang telah ada. Jangan sungkan untuk mengutip dan mengatakan pemikiran orang lain. Mencantumkan sumber adalah keharusan. Karena kita hidup bukan di ruang hampa yang bisa berpikir sim salabim. Dalam kasus parsial, otak kita tidak bisa berjalan tanpa informasi (data). Itulah cara berpikir induktif (empiris).
Lantas bagaimana originalitas tulisan? Idenya mungkin sama dengan ide orang lain dan akan tetap sama yaitu: kebaikan vs kejahatan, berpihak pada kebenaran, memberangus ketidakbaikan, berpihak pada yang tertindas, dan sebagainya. Dari dulu sampai akhir zaman akan terus begitu. Topiknya akan konstan pada tema-tema tersebut. Bukan berarti ketika kita menulis tema-tema tersebut tidak original, original dan bukannya adalah cara penyampaian. Pemilihan kata, metode penyampaian, prolog dan epilognya yang dinilai original atau tidaknya suatu tulisan. Kalau idenya sama, pemilihan katanya sama, itu namanya bukan original alias plagiat. Karena tidak mungkin 2 orang memilih kalimat yang sama dalam menyampaikan satu fenomena. Tema sama dan kalimat berbeda itulah originalitas. Sumber boleh jadi sama tetapi mengambil kesimpulan dari sumber-sumber itu pasti berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Itulah originalitas. Bukan seperti kata Marwan Jafar (yang kini tertuduh plagiat terkait tulisannya di Koran Tempo) bahwa kata-kata yang sama boleh jadi karena sumbernya sama. Tidak sama sekali. Sumber boleh jadi sama tapi mustahil kalimat dan cara menyusun kesimpulan bisa sama.**[harjasaputra.com]