Bisakah data pribadi kita dilindungi di era digital sekarang? Jawaban dari ini bisa iya bisa tidak. Bisa dilindungi jika data pribadi dalam cakupan data umum, yaitu mencakup data alamat rumah, agama, NIK, nomor telepon, kewarganegaraan, sebagaimana data termuat dalam KTP. Itu sudah ada Undang-undang yang mengatur, disebut UU PDP (Perlindungan Data Pribadi).
Namun, bagaimana data pribadi yang lain? Apa saja data pribadi lain tersebut yang justru tidak dapat dilindungi tetapi lebih penting dan diperebutkan oleh perusahaan digital raksasa global?
Secara tidak sadar, ketika kita menggunakan internet untuk berinteraksi di media sosial, mencari suatu kata di mesin pencari, melihat video pendek di aplikasi tiktok atau reels FB dan IG, bahkan ketika membincangkan suatu topik di whatsapp bersama teman, itu sesungguhnya kita sedang mengumpankan diri secara sukarela ke mesin big data untuk menjadi model perilaku yang dijualbelikan.
Tak heran, ketika kita melihat suatu model video tentang satu tokoh, sebut saja video Fajar yang sedang viral atau celotehan bunda Corla, maka aplikasi akan terus memberi kita umpan video yang sejenis.
Begitu juga jika berbelanja suatu produk. Ketika kita mencari suatu produk, aplikasi otomatis akan menawarkan banyak produk yang relevan dengan pencarian kita. Bahkan meskipun kita sudah menutup aplikasi itu. Kita mencari laptop merek Acer, misalnya, di di suatu aplikasi belanja. Kenapa ketika membuka Google atau Gmail, akan ada muncul iklan Laptop Merek Acer. Google tahu apa yang kita butuhkan.
Begitu juga di aplikasi medsos. Kita butuh tentang sesuatu produk. Entah kita menyebutnya di suatu percakapan di WA atau searching di mesin pencari, atau pernah buka iklan suatu produk di FB. Tiba-tiba muncul iklan dari produk yang kita butuhkan. FB pun tahu apa yang kita butuhkan.
Dari mana platform digital itu mengetahui pola perilaku penggunanya?
Menarik untuk disimak teori dari Shoshana Zuboff yang menulis buku berjudul The Age of Surveillance Capitalism (2019). Penjelasannya begini.
Zuboff menyebutkan bahwa platform digital seperti Google dan sejenisnya memperkenalkan jenis atau bentuk kapitalisme baru dengan istilah Surveillance Capitalism (kapitalisme mata-mata). Pengguna yang menggunakan layanan digital Google, Facebook, dan sejenisnya, bukanlah produk dan bukan juga pelanggan. Mereka adalah bahan mentah bagi para kapitalis mata-mata (surveillance capitalists).
Surveillance Capitalism memperlakukan pengalaman penggunanya sebagai bahan mentah untuk diterjemahkan ke dalam data perilaku. Data tersebut sebagian digunakan untuk meningkatkan produk atau layanan digital; tetapi yang paling penting adalah sebagiannya lagi digunakan sebagai “surplus perilaku eksklusif” yang dimasukkan ke dalam proses manufaktur “kecerdasan mesin” yang menghasilkan ‘produk prediksi'”. Lalu “produk prediksi perilaku” dijual di pasar jenis baru: “pasar perilaku masa depan (behavioral future market)”.
Dalam pertempuran untuk mendominasi pasar dan memaksimalkan keuntungan, surveillance capitalists berada dalam pencarian tanpa akhir untuk mendapatkan sumber surplus perilaku yang semakin prediktif. Ini merupakan langkah ekonomi imperatif Surveillance Capitalism, yaitu “keharusan ekstraksi”.
Imperatif di sini berarti bahwa “persediaan bahan baku harus diproduksi dalam skala yang terus berkembang”. Keharusan ekstraksi didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan besar: semakin banyak dan semakin baik platform digital mengekstraksi pola perilaku pengguna, semakin banyak keuntungan yang dapat dihasilkannya. Setiap interaksi, setiap hubungan, dan proses sosial kini menjadi ‘medan baru untuk penafsiran, perhitungan, modifikasi, dan prediksi’ (Zuboff, 2019: 399).
Zuboff bahkan berani mengatakan bahwa Google adalah penemu model Kapitalisme Mata-mata (Surveillance Capitalism). Hal yang tidak akan pernah berubah, menurut Zuboff, adalah fakta bahwa Google akan terus mengekstrak data. Arogan dan imperialis.
Outputnya tentu saja profit. Rasio distribusi pendapatan periklanan di era pertumbuhan platform digital menunjukkan sangat dominannya Google dan Facebook saat ini. Untuk setiap USD100 yang dihasilkan dari pendapatan iklan, USD53 masuk ke Google, USD28 masuk ke Facebook dan USD19 masuk ke media lain (Osborne, 2021).**