Pendapat Ustadzah Oki mengenai KDRT, suami memukul istri, sebagai aib keluarga yang harus disembunyikan. Arahnya permisif terhadap KDRT. Dibela oleh ustadz lain, dikatakan bahwa hal itu karena memang di Islam suami diperbolehkan memukul istri.
Memahami ajaran agama jika tekstual ya begitu. Melihat ajaran seperti adanya di permukaan. Apa yang tampak. Berbeda jika memahami ajaran agama dari perspektif lain. Memahami teks agama bukan pada apa yang tampak, tetapi kepada konteks.
Masalah KDRT ini sama dengan memahami ajaran tentang poligami. Jika bersandar pada teks maka pendapatnya pasti permisif terhadap poligami. Padahal, konteksnya tidak seperti itu.
Poligami itu banyak istri. Lebih dari empat. Konteksnya saat ditegakkan adalah waktu itu para sahabat banyak yang memiliki istri sampai 9 orang, 10 orang, bahkan lebih. Ini kaitannya dengan budaya Arab waktu itu. Datanglah perintah bahwa istri dibatasi tidak boleh lebih dari empat.
Ajaran itu jangan dipahami bahwa Islam menyuruh para suami yang sudah beristri satu untuk nikah lagi menjadi punya istri dua atau tiga atau empat. Bukan seperti itu. Justru kebalikannya. Konteks ajaran Islam justru menyuruh untuk mengurangi jumlah istri yang sudah banyak menjadi sedikit.
Agama datang selalu membawa gerakan perubahan ke arah yang lebih humanis. Memanusiakan manusia. Bukan sebaliknya. Inti ajaran agama selalu begitu.
Begitu pun perlakuan agama terhadap anak. Sebelum Islam datang, punya anak perempuan itu aib. Kelas sosial laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Datanglah Islam yang mengatakan semua orang sama kedudukannya di mata Tuhan. Ini gerakan revolusioner berupa pembelaan hak asasi manusia. Tidak ada diskriminasi gender, suku, warna kulit, atau kelas sosial. Semua memiliki hak yang sama.
Begitu pun dalam melihat KDRT. Islam datang untuk menghapus perlakuan yang sangat ekstrim terhadap perempuan waktu itu. Ajaran Islam tentang pemukulan terhadap istri harus dipahami bukan permisif terhadap hal itu, tetapi justru yang awalnya istri boleh diperlakukan secara lebih kejam dalam budaya Arab, diperintahkan harus diperlakukan secara lebih baik.
Praktek semena-mena oleh suami waktu itu diminimalisasi dengan ajaran boleh memukul tanpa melukai jika bertujuan untuk mendidik. Jangan dipahami sebaliknya. Suami yang biasanya jika ribut hanya dengan ucapan lantas boleh memukuli istri. Konteksnya tidak seperti itu.
Implementasi dari ajaran agama yang bersifat kontekstual boleh jadi berbeda penerapannya pada saat ajaran itu diterapkan pertama kali pada zaman Nabi. Misalnya ajaran sunnah makan dengan tiga jari, prakteknya tidak akan berlaku di kita yang makan dengan nasi dan sayur panas. Bisa berabe kalau prakteknya tekstual.
Jangan khawatir, meskipun makan pakai sendok atau tidak dengan tiga jari tetap sejalan dengan agama, yaitu bahwa agama itu lebih condong kepada etika yang mulia. Mungkin saja pada saat itu tujuan dari ajaran makan dengan tiga jari adalah agar tidak makan terlalu rakus. Selalu ada cara dalam memahami ajaran agama secara lebih humanis.*(hs)