Categories: IPTEK

Radikalisme No, Blokir Situs No (Bagian 2)

Ilustrasi: sidomi.com

Merespons diskusi terhadap komentar-komentar pada artikel Kritik Atas Pemblokiran Domain Penyebar Radikalismeyang saya tulis sebelumnya. Umumnya menanyakan atau meragukan mengenai bisa atau tidaknya sensor dengan sistem Keyword (kata kunci) terhadap suatu situs.

Pertama, program internet sehat melalui blokir oleh Nawala.org sesungguhnya telah menerapkan sistem sensor melalui keyword, terutama terhadap situs porno. Namun, sistem keyword yang digunakan masih menggunakan sistem lama, yaitu hanya terbatas pada keyword “SATU KATA”. Ini sudah ketinggalan zaman. Dampaknya masih banyak situs-situs porno yang lolos karena tidak sesuai dengan keyword yang dikenakan. Misalnya: keyword yang diterapkan oleh Nawala pada situs porno umumnya hanya pada kata-kata: por*, fu**, se*, dan sejenisnya. Tetapi jika sebuah domain terdiri dari kata-kata di luar keyword yang diterapkan tidak akan terkena sensor.

Keyword yang diterapkan nawala.org dikenakan bukan pada konten tetapi lebih dominan pada nama domain. Kenapa demikian? Karena lebih gampang dan praktis. Apakah bisa sebuah kebijakan yang menyangkut masalah orang banyak dengan alasan biar gampang? Tidak bisa. Jika demikian adanya, itu merupakan wujud nyata dari bentuk kemalasan para pihak pemegang kebijakan. Hanya mau gampang, tidak mau repot.

Kedua, keyword era sekarang yang paling efektif adalah “keyword kontekstual”, dan itu yang diterapkan oleh Google dalam sistem pencariannya maupun dalam iklan Adword atau Adsense. Google akan otomatis menayangkan iklan yang sesuai dengan konteks dari suatu konten yang ada dalam sebuah laman web. Google dalam rilis resminya mengumumkan bahwa pihaknya telah merancang sistem keyword baru yang bisa mendeteksi konten berdasarkan konteks bukan berdasarkan tekstual.

Artinya, berdasarkan teknis dan teknologi hal itu sangat bisa dan memang sudah diterapkan. Jika kita mencari kata tertentu di mesin pencarian, maka yang lebih efektif adalah menggunakan kata kunci yang terdiri dari “lebih dari satu kata”. Bisa 3 sampai 5 kata. Ini tetap disebut keyword.

Jika Anda pelaku pengiklan “Google Adwords”, Anda tentu berpengalaman bagaimana dalam menentukan kata kunci yang lebih efektif untuk menjaring pengunjung untuk mengunjungi laman web Anda. Tantangannya adalah bagaimana menentukan kata kunci. Dalam menentukan kata kunci, umumnya kata kunci yang terdiri lebih dari satu kata yang lebih efektif.

Bagaimana operasionalnya dalam sensor terhadap konten radikalisme? Jika ada niat dan paradigmanya benar, masalah teknis itu sangat mungkin. Tentukan keyword yang terdiri dari kata menyerupai kalimat, misalnya “orang kafir layak dibunuh”, “NKRI harus diganti khilafah”, dan keyword-keyword lain sebagai indikator dari gerakan-gerakan radikalisme. Keyword model ini lebih terukur dan kontekstual dibanding keyword dengan satu kata.

Sekali lagi, keyword satu kata untuk mesin pencarian sudah ditinggalkan. Keyword satu kata hanya berlaku pada penentuan tag dalam sebuah konten.

Ketiga, sensor di negara demokrasi sesungguhnya tidak perlu. Tidak sesuai dengan semangat kebebasan. Sensor yang bisa diterapkan di negara demokrasi bukan dengan menyensor langsung domain, tetapi batasi kebebasan situs tersebut. Caranya bagaimana? Kerjasamalah dengan perusahaan-perusahaan mesin pencari dan perusahaan media sosial. Jika suatu situs ditengarai sebagai situs porno atau situs radikalisme segera kirim notifikasi ke perusahaan mesin pencari dan perusahaan media sosial ternama. Agar situs tersebut tidak terindeks di mesin pencari dan tidak bisa disebar di media sosial. Apakah itu bisa? Sangat bisa. Hal tersebut pernah dilakukan kok oleh Kemenkominfo, hanya saja tidak serius.

Ingat, hukuman di negara demokrasi tujuannya adalah membatasi kebebasan bukan dengan memancung langsung si pelaku. Penjara tujuannya adalah membatasi kebebasan si pelaku kejahatan. Begitu juga dalam dunia maya, hukuman yang layak adalah juga dengan membatasi kebebasan si situs.

Melalui kerjasama dengan perusahaan mesin pencari dan perusahaan media sosial, kebebasan dari situs yang dianggap melanggar dengan sendirinya dibatasi. Bagi pegiat media online tentu akan merasa “Sakitnya tuh di sini” jika situsnya tidak masuk ke mesin pencari dan tidak bisa disebar di media sosial.

Keempat, memancung domain agar tidak dapat diakses sama saja dengan tindakan radikal. Katanya mau memberantas radikal tapi dengan tindakan radikal lagi. Itu jeruk dibalas dengan jeruk namanya.**[harjasaputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share