Terjebak macet di jalan Gatot Subroto, Jumat (25 Nov 2011), pukul 17.16 WIB, setelah selesai meeting menuju ke suatu tempat untuk meeting lagi. Kerja saya dibayar memang hanya untuk meeting. Maksud hati mengontak orang yang akan ditemui, pertamanya nyambung tetapi di tengah percakapan langsung terputus. Tulalit..tulalit..pertanda hubungan sinyal terputus. Mencoba untuk menghubungi lagi tetapi tidak bisa. Masih tulalit saja bunyinya. Padahal sinyal penuh sampai luber. Mencoba kirim SMS tetapi pesan yang muncul: “Retries exceeded” dengan tanda silang, pertanda pesan tidak dapat dikirim. Penasaran, mungkin pulsa saya habis. Tapi perasaan baru diisi kemarin. Mencoba mengecek pulsa dengan kode *888# tapi tidak bisa muncul pesan saldo pulsa seperti biasanya. Cek saldo pun ternyata tidak bisa. Apa tindakan terakhir? Hanya bisa geleng-geleng kepala, sambil menerka-nerka “Jangan-jangan Telkomsel lagi down”.
Setibanya di tempat tujuan, di wilayah Jakarta Pusat, tepatnya di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, menemui orang yang janji untuk bertemu. Di saat jalan memasuki Plaza Indonesia terdengar banyak orang yang berbicara bahwa dirinya tidak dapat telpon melalui Telkomsel. Bahkan di ruang meeting pun, hampir semuanya mengalami hal sama, yang memiliki kartu Telkomsel (baik kartu Halo maupun Simpati) tidak bisa berkomunikasi. Meeting sampai jam 22.00 WIB lalu pulang. Saya berusaha menggunakan telepon lagi tapi masih belum bisa. Itu terus berlanjut hingga pukul 22.10 WIB. Karena di pukul 22.12 WIB (waktu blackberry dan dashboard mobil Xenia saya) sudah ada telepon dan SMS yang masuk. Dicoba untuk menelpon sudah bisa. Berarti Telkomsel mengalami down selama hampir 5 jam.
Ternyata benar dugaan saya, gonjang-ganjing di tubuh Telkomsel akan berdampak pada penurunan layanan. Meskipun sempat dibantah oleh pihak manajemen, tetapi hari Jumat kemarin terbukti nyata. Ini menunjukkan di tubuh Telkomsel sedang banyak yang tidak beres. Dari mulai karyawan mogok kerja, gesekan antar direksi, kasus pengaduan pencurian pulsa yang dilaporkan ke kepolisian, kasus kalahnya Telkomsel di persidangan untuk kasus iklan Blackberry Unlimited, dan kasus lain. Akhirnya tiba ke situasi titik nadir, layanan voice dan SMS tidak dapat digunakan. Tak tanggung-tanggung, 5 jam ngedrop.
Waktu down layanan selama 5 jam bukan waktu sedikit di bisnis telekomunikasi. Pendapatan Telkomsel per menit atau istilahnya Revenue Per Minute (RPM) adalah 250 rupiah untuk setiap pengguna. Berarti ada penurunan pendapatan Telkomsel sangat signifikan di hari Jumat kemarin. Ratusan juta bahkan bisa mencapai milyardan rupiah hilang. Hilang bukan karena dicuri tetapi hilang oleh diri sendiri. Mengenaskan. Yang lebih penting lagi, konsumen ditelantarkan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Saya masih belum tahu, apakah down ini juga berlaku untuk seluruh konsumen Telkomsel di seluruh wilayah Indonesia atau hanya di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat saja. Sempat berdiskusi di twitter dengan para Kompasianers tentang hal ini, yang besar kemungkinan down terjadi di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat saja. Andaikan terjadi di seluruh wilayah Indonesia, berarti 105 juta pelanggan Telkomsel dirugikan selama 5 jam. Dan, meskipun terjadi di wilayah Jaksel dan Jakpus, tetap saja konsumen menjadi korban. Jaksel dan Jakpus adalah pusat bisnis ibu kota. Kalkulasi kerugian dapat dihitung, itu pun jika mereka mau menghitungnya, tetapi tidak mungkin. Paling hanya berkilah, “Sistem sedang down karena lagi perbaikan”. Alasan klasik yang biasa diungkapkan.
Telkomsel sebagai perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia seharusnya pelayanannya lebih baik dari para pesaingnya. Hal ini karena logika bisnis, semakin besar jumlah konsumen berarti semakin besar pendapatan, dan akan semakin besar investasi yang dikeluarkan untuk infrastruktur. Tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Selain itu, Telkomsel adalah perusahaan milik negara (BUMN), di mana didirikan bukan hanya untuk tujuan bisnis, tetapi ada kewajiban pelayanan masyarakat atau Public Service Obligation (PSO). Jika tujuannya murni bisnis, serahkan saja ke swasta pasti lebih baik, tetapi bukan itu pertimbangannya. Jangan sampai bisnis yang melibatkan cadangan devisa besar disedot oleh pihak swasta dan asing sehingga merugikan masyarakat. Ternyata tujuan itu pun tidak tercapai. Jika demikian keadaannya, masihkah kita bangga dengan Telkomsel?**[harja saputra]