Sedikit tertegun membaca tulisan di kolom Trending Articles hari ini dengan judul “Pluralisme itu Haram?“. Apa yang ditulis oleh penulis artikel itu melenceng dari substansi permasalahan yang sebenarnya. Penulis memahami masalah pluralisme berbeda dengan konteksnya. Apa sebab?
Pluralisme yang diperbincangkan berbeda dengan plurality atau diversity. Pluralisme yang diharamkan pada persoalan Pluralisme Agama. Hal ini mengacu pada Fatwa MUI tahun 2005 (lihat Fatwa MUI nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme).
Apa yang dipaparkan oleh penulis artikel itu, acuannya hanya pada pengertian Kamus, yang itu sesungguhnya bukan pengertian Pluralisme yang diperdebatkan, melainkan–sekali lagi–hanya mengacu pada plurality atau diversity (pluralitas atau keberagaman dari realitas). Tentang keberagaman, di mana semua yang ada di dunia sangat plural, tidak ada yang seragam, adalah hal yang natural. Semua orang sepakat. Namun pluralisme tidak berbicara masalah ini. Keragaman seperti adanya laki-laki dan perempuan, keragaman suku, bangsa dan bahasa, adalah pluralitas dari aspek natural.
Pluralisme yang diperdebatkan adalah Pluralisme Agama, terutama pemikiran Pluralisme Agama yang digagas oleh John Hick.
Seperti diungkapkan oleh William R. Hutchinson, bahwa plurality atau diversity berbeda dengan Pluralism. Di Amerika Serikat, kata “diversity” berakar sejak paruh pertama abad ke-19, sementara “pluralism” baru muncul pada paruh kedua abad ke-20 sebagai reaksi atas realitas kemajemukan agama-agama.
Perdebatan pluralisme agama ini seputar pertanyaan: “apakah agama-agama yang ada ini sama-sama memiliki kebenaran ataukah hanya satu agama saja yang benar? bagaimana sikap kita dalam memahami banyaknya agama ini?“
Dalam buku The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic Theology of Religions, sebagai buku seri Faith Meets Faith, John Hick bersama Paul K. Knitter mempublikasikan tulisan-tulisan mengenai pluralisme. Faham pluralisme agama Hick merupakan pemikiran filosofis sebagai hasil dari upaya pemberian suatu landasan mengenai keragaman agama.
Dari pemikiran ini muncullah banyak aliran, baik yang menentang maupun mendukung, di bagian yang menentang muncullah faham eksklusivisme, bahwa kebenaran agama adalah eksklusif, hanya dimiliki oleh satu agama saja. Ini terjadi baik di Kristen maupun di Islam. Bahkan, Pluralisme Agama ini awalnya muncul sebagai gerakan protestianisme liberal, yaitu gerakan yang menghendaki interpretasi non-ortodoks terhadap kita suci dan dogma Kristen agar jalan keselamatan tersedia melalui agama selain Kristen.
Ketika pemikiran Hick ini diadopsi oleh para pemikir muslim, misalnya, hal serupa pun terjadi: perdebatannya apakah agama di luar Islam memiliki kebenaran yang sama ataukah tidak?
Di pihak yang mendukung, muncul paham relativisme, yaitu bahwa semua agama adalah benar. Mengacu pada Hick, bahwa Pluralisme agama adalah: “Suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang respons terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi”. Dengan bahasa yang lebih ringkas, bahwa kebenaran merupakan satu hal yang kolektif di antara semua agama, dan seluruh agama bisa menjadi sumber keselamatan, kesempurnaan dan keagungan bagi para penganutnya.
Ada juga faham yang menggabungkan keduanya, yaitu faham inklusivisme. Bahwa setiap agama berhak untuk mengklaim kebenarannya, tetapi pada saat yang sama harus juga mengakui kemungkinan kebenaran agama lain.
Gamal al-Banna, seorang aktivis Muslim Ikhwanul Muslimin Mesir, yang awalnya memiliki pemikiran yang condong ke arah fundamentalisme dan anti-barat, namun di balik jeruji penjara ia melakukan refleksi mendalam atas pemikiran agamanya dan menemukan cara baru dalam beragama. Ia berubah dari seorang ekslusif menjadi seorang pluralis. Dalam buku at-Ta’addudiyah fi Mujtama’ Islamiy, Gamal al-Banna mengulas pluralitas dengan berpijak dari ulasannya terhadap konsep dan prinsip penting dalam Islam, yaitu tauhid (Rakhmat, 2006:19).
Keyakinan terhadap keesaan Allah ini dapat menumbuhkan kesadaran bahwa kemutlakan hanya milik Allah semata, dan yang lain adalah plural. Ketauhidan yang benar akan membawa kesadaran terhadap pluralitas. Al-Banna ingin menegaskan bahwa mengakui adanya pluralitas di dalam masyarakat berarti penegasan kepada prinsip utama dalam Islam; tauhid kepada Allah Swt. Penolakan terhadap pluralitas berarti pengingkaran kepada ketauhidan Allah.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Gulpaighani. Menurutnya, pluralisme bukan dalam arti anggapan semua agama adalah benar karena hal ini adalah relativisme. Pluralisme agama yang bisa diterima tak lain adalah pluralisme dalam makna kehidupan bersama secara rukun orang-orang yang masing-masing meyakini kebenaran ada di pihaknya.
Di pihak lain, Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, pada saat menafsirkan QS. Al-Baqarah:62:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta beramal shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al Baqarah: 62).
Ayat ini diulang dengan redaksi agak berbeda pada QS al-Maidah: 69 dan QS. Al-Hajj: 17.
Rasyid Ridha mengatakan bahwa ayat-ayat itu memang sangat jelas untuk mendukung faham bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh.
Bahkan Rasyid Ridha mengatakan, orang yang merasa pasti akan selamat hanya karena dia Islam, Nasrani, atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrin).**[harjasaputra]