Semua manusia, siapapun dia, adalah titisan Tuhan. Ada yang salah dengan statemen ini? Kalimat “titisan Tuhan” kini ramai dibincangkan, berawal dari orasi salah seorang kader partai politik yang mengatakan bahwa capres yang diusung oleh partai tersebut sebagai “titisan Allah Swt”, meskipun kemudian sang orator menyangkal bahwa dirinya keseleo lidah ketika menyebut “titisan Allah” tersebut. Namun, di media sosial sang orator dibully karena telah mengeluarkan statemen tersebut.
Hal ini mudah dipahami karena kalimat tersebut lebih bernuansa politis, disampaikan dalam suasana “politik”. Padahal masalah “titisan Tuhan” sesungguhnya jika tidak bernuansa politis adalah hal yang wajar. Bahkan banyak dibahas sejak dahulu kala dalam berbagai pemikiran, baik filosofis maupun sufisme.
Kita semua sebagai manusia, alam, serta semua yang ada di dunia ini adalah titisan Tuhan. Apa sih artinya titisan itu?
Titisan secara bahasa bermakna “sesuatu yang menitis atau menetes”. Titisan air hujan sama artinya dengan tetesan air hujan. Artinya, dalam kata “titisan” terkandung tiga pihak: ada sumber titisan, substansi titisan, dan objek titisan. Dalam titisan atau tetesan air hujan: ada sumber hujan, air hujan itu sendiri, dan obyek yang ditetesi air hujan.
Dalam makna kebahasaan ini, kalimat titisan Tuhan tidak ada yang salah. Kita semua adalah titisan Tuhan. Tuhan sebagai sumber dan manusia sebagai obyek titisan. Nah, yang menjadi pertanyaan: apa yang menitis dari Tuhan kepada manusia sehingga manusia disebut titisan Tuhan?
Dalam firman Allah Swt disebutkan, “wa nafakhtu fihi min ruhi” “dan Aku tiupkan padanya (ketika manusia diciptakan) ruh-Ku” (Al-Hijr: 29).
Firman Tuhan di atas adalah salah satu dalil yang diajukan oleh banyak pemikir sejak dahulu kala dalam membahas masalah “Manifestasi Tuhan” dalam diri manusia. Sebut saja misalnya, Ibn Arabi melalui konsep “wahdatul wujud”-nya (kesatuan wujud), teori emanasi, teori illuminasi, dan sebagainya.
Titisan sama artinya dengan manifestasi. Dari ayat itu kita juga dapat memahami bahwa ada sesuatu yang menitis dalam diri setiap manusia yang ditiupkan oleh Allah Swt. Apa itu? Yaitu “wujud” atau “ada”. Maka, dalam tataran wujud: kita dan Tuhan adalah sama. Wujudlah yang ditiupkan oleh Allah Swt dalam diri setiap manusia, bahkan kepada semua yang ada di dunia ini. Tuhan ada dan kita ada, maka dalam “ke-ada-an” antara Tuhan dan manusia adalah sama. Kalau tidak sama, berarti kita tidak ada. Pemahaman inilah mungkin yang melatarbelakangi pernyataan al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar yang mengatakan “Saya adalah Tuhan”.
Dalam wujudnya (existent atau ke-ada-an) kita dan Tuhan sama persis. Identik. Manusia denganya adalah manifestasi atau titisan Tuhan benar adanya.
Apa yang membedakan antara Tuhan dan manusia? Bukan dalam wujud-nya, tetapi dalam maujud-nya, yaitu dalam keberadaan (existence). Ada dan keberadaan berbeda. Ada itu simpel dan murni, tidak membutuhkan pembanding dalam memahami. Setiap yang ada berarti wujud. Sementara keberadaan ada pembanding. Tuhan dalam keberadaannya adalah khalik (pencipta) dan manusia sebagai makhluk (yang dicipta). Dan, perbedaan antara manusia dan pencipta adalah sejauh bumi dan langit. Pencipta dalam keberadaannya tidak membutuhkan makhluk, tetapi sebaliknya makhluk butuh pencipta dalam keberadaannya.**[harjasaputra.com]