Categories: Filsafat

Kebenaran Akal adalah Kebenaran Tuhan

Terjadi diskusi yang hangat di kalangan Tenaga Ahli Komisi VI melalui Blackberry Messenger (BBM Group) pada tanggal 11 Mei 2011. Tenaga Ahli Komisi VI yang biasanya berdiskusi masalah ekonomi sebagai fokus kerja di komisi tersebut (BUMN, perdagangan, perindustrian, investasi, standarisasi, persaingan usaha, perlindungan konsumen, dan koperasi), namun pada hari itu meluas ke masalah filsafat. Diskusi melibatkan tenaga-tenaga ahli dari lintas fraksi yang ada di Komisi VI.

Awal diskusi diawali oleh posting dari salah seorang Tenaga Ahli (PM). Ia mengutip kisah sebagai berikut:

“Di suatu padepokan di Tiongkok pernah hidup seorang Guru yg sangat dihormati karena tegas & jujur. Suatu hari, 2 murid menghadap Guru. Mereka bertengkar hebat & nyaris beradu fisik. Keduanya berdebat tentang hitungn 3×7. Murid pandai mengatakan hasilnya 21. Murid bodoh bersikukuh mengatakan hasilnya 27.

Murid bodoh menantang murid pandai untuk meminta Guru sebagai jurinya untuk mengetahui siapa yang benar di antara mereka, sambil si bodoh mengatakan : “jika saya yg benar 3 x 7 = 27 maka engkau harus mau dicambuk 10 kali oleh Guru, tetapi jika kamu yang benar ( 3 x 7 = 21 ) maka saya bersedia untuk memenggal kepala saya sendiri ha ha ha …..” demikian si bodoh menantang dgn sangat yakin dgn pendapatnya .

“Katakan Guru mana yang benar ?” tanya murid bodoh.

Ternyata Guru memvonis cambuk 10x bagi murid yang pandai (orang yg menjawab 21). Si murid pandai protes.

Sang Guru menjawab, “Hukuman ini bukan untuk hasil hitunganmu, tapi untuk ketidakarifanmu yg mau-maunya berdebat dengan orang bodoh yang tidak tau kalo 3×7 adalah 21!!”.

Guru melanjutkan: “Lebih baik melihatmu dicambuk dan menjadi arif daripada aku harus melihat 1 nyawa terbuang sia sia!”

Pesan Moral: Jika kita sibuk mmperdebatkan sesuatu yang tak berguna, berarti kita juga sama salahnya atau bahkan lebih salah daripada orang yg memulai perdebatan. Bukankah kita sering mengalaminya?

Berdebat ato bertengkar untuk hal yang tidak ada gunanya hanya akan menguras energi percuma. Ada saatnya untuk kita diam untuk menghindari perdebatan atau pertengkaran yang sia-sia. Diam bukan berarti kalah, bukan? Memang bukan hal yg mudah, tapi janganlah sekali-kali berdebat dengan orang bodoh yang tidak menguasai permasalahan.”

Setelah posting tersebut tenaga ahli yang lain (BP) memberikan komentar: “Bisa dipakai bang…..sepanjang kebodohan itu tidak berkembang menjadi kejahatan”.

HS berkomentar: “Masalahnya kalau seperti itu, kita sudah melakukan penghakiman, orang ini bodoh, orang ini pinter, ini namanya sombong permanen”.
Tenaga Ahli lain (ST) berkomentar: “Bang HS benar, terus kalau merasa pintar dan menawarkan diri atas kepintaran yang dia punya. Gimana tuh bang?.

BP: “Saya setuju kalau kita jangan melakukan penghakiman. Saya setuju juga dengan Bang ST bahwa sebagai seorang yg lebih tahu/pintar akan sangat berdosa apabila membiarkan kebodohan/kegelapan begitu saja terjadi.

PM: “Begini bang, perhatikan tidak contoh cerita di atas. Masalah yang diperdebatkan adalah masalah sederhana, yang sudah jelas salah benarnya, jadi tidak perlu diperdebatkan.”

HS: Tapi bang, menurut saya ini juga, terkadang kita tidak tahu pasti mana yang perlu dan mana yang tidak perlu. Hal-hal dasar seperti cerita di atas bisa saja sebenarnya diperdebatkan..1+1 kalau ada yang yakin hasilnya adalah 4 dan dia bisa buktikan kenapa tidak. Hal dasar seperti keberadaan Tuhan saja bisa diprdebatkan. Kalau disuruh memilih, kebenaran tanpa alasan dan kesalahan dengan alasan, saya lebih pilih yang salah tapi ada alasan logisnya.

BP: “Kalau kebenaran tanpa alasan namanya dogma bang. Saya setuju dengan bang HS, bukti/argumen adalah suatu kebutuhan untuk sebuah pembuktian.

HS: “Justru itu, kebenaran harus juga dengan alasan, jadi ruang utk diskusi sangat lebar dan tidak terbatas. Jika diperluas pada ranah yang lain, maka orang yang tidak beragama tapi karena pencarian dan alasan yang ia yakini dengan prinsip logika yang benar maka itu lebih baik dari orang yang beragama hanya karena keturunan”.

ST: “Mantap!!! Kajian Pagi Filsafat. Pada semangat karena masih belum tengah dan akhir bulan.”

BP: “Sudah ah, kok nyerempetnya ke agama nih, ntar jadi sara lho.”

HS: “Bukan nyerempet ke agama bang. Justru ini sangat penting. Di Indonesia agama adalah tabu, justru sikap ini sumber malapetaka negara ini. Tdk diberi ruang yang lebar untuk saling mendiskusikan kebenaran yang ia yakini. Rumus matematika, agama, itu dogma (premis), sering dijadikan alat ukur dalam menilai. Menurut saya ini salah. Agama itu bukan ukuran, ukuran satu-satunya manusia adalah logika. Andai diberi ruang yang cukup untuk diskusi masalah keyakinan dengan logika yang benar, tanpa ada tabu, maka tidak akan ada penyerangan-penyerangan dengan motif agama”.

HS menambahkan: “Sekarang begini, masalah Ahmadiyah, masalah Muslim dan Non-Muslim, itu berangkatnya dari keyakinan terhadap pemahaman salah dan benar. Tetapi pada saat ditanya kenapa hal itu dilakukan, jawabannya karena menurut keyakinan agama saya begini, orang lain yang beda keyakinan pun akan menjawab sama karena. Kenapa tidak pakai logika yang sifatnya bisa diterima oleh semua manusia. Misalnya, siapa yang bisa menyangkal prinsip logika bahwa tidak mingkin “ya” dan “tidak” itu bersatu dalam satu keadaan..bla bla bla..logika berlaku umum.

MG: “Soal logika sebagai satu satunya ukuran dalam menilai saya tidak sependapat tapi hal ini bila didiskusikan bisa panjang. Manusia diberikan Tuhan beberapa alat (tidak hanya akal) untuk menemukan kebenaran, misalnya panca indera dan lainnya. Kelemahan akal–sebagai instrumen dalam mencari kebenaran logika–adalah keterbatasan. Kalau akal manusia jaman dulu tidak bisa menciptakan bahkan memimpikan burung besi bisa terbang, akal manusia yang sekarang bisa merealisasikan. Itu artinya akal punya keterbatasan dalam menemukan kebenaran. Nah, kalau alat yang punya keterbatasan ini dijadikan satu-satunya instrumen mencari kebenaran (padahal Tuhan memberikan berbagai alat lainnya) alur pikir kita jelas akan tersesat.”

HS: “Anda terjebak ke empirisme. Panca indera tidak bisa dijadikan tolok ukur, justru panca indera yang terbatas. Rasio is beyond indera. Seandainya indera dijadikan tolok ukur bagaimana dengan yang cacat. Indera juga terkadang menipu. Riak air di padang pasir itu hasil indera, tetapi menurut akal itu tidak mungkin karena itu hanya bayangan. Indera kita hanya bisa menangkap yang khusus dan tidak bisa menjangkau yang umum. Contohnya jika ditanya: “Apa itu manusia?” maka pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh akal yang sifatnya umum. Sedangkan jika jawabannya manusia itu adalah kamu dan saya, itu baru bisa oleh indera. Itulah buktinya bahwa indera sangat terbatas dan tak bisa dijadikan alat untuk mencari kebenaran hakiki”.

MG: “Yang saya tekankan adalah jangan terjebak pada kebenaran logika karena akal terbatas. Semua alat manusia untuk menemukan kebenaran terbatas. Makanya, bergeraklah antara ketinggian teknologi dan kedalaman mitologi. Gunakan alat-alat lainnya agar ada keseimbangan alur pikir dalam mencari kebenaran”.

HS: “Justru itu salahnya, logika tidak terbatas. Jika logika terbatas maka manusia akan punah. Logika itu sama dengan kata “ada”, kesadaran. Begitupun halnya, akal tidak pernah terbatas, jika akal terbatas berarti ada saatnya ilmu tidak akan bergerak. Sementara ilmu terus bergerak karena ketidakterbatasan akal.”

MG: “Ilmu yang terus bergerak itu menandakan keterbatasannya akal. Artinya kebenaran logika saat ini bisa dipatahkan lagi di masa depan. Jika kebenaran logika sekarang dijadikan kebenaran absolut,  itu yang berbahaya”.

PM: “Akal terbatas? Oh my God. Akal itu justru tidak terbatas, dia menembus ruang dan waktu”.

HS: “Kebenaran logika saat ini akan kekal selama-lamanya, bahkan sampai akherat. Misalnya kesimpulan akal bahwa 1 lebih besar dari 0 itu akan sama hukumnya baik di dunia maupun di akherat. Yang terbatas berarti bukan hasil dari logika tetapi hasil dari penginderaan. Definisi manusia menurut Aristoteles, “manusia adalah hewan yang berakal”, maka jika akalnya saja terbatas maka ada suat saat kita tidak berakal, berarti kita sama dengan hewan.”

MG: “Saya kasih contoh keterbatasan akal: dulu, ilmuwan sepakat bahwa atom adalah partikel terkecil. Pendapat bahwa atom partikel terkecil adalah kebenaran logika saat itu yang didapat dengan mendayagunakan akal. Kemudian dalam perkembangannya ternyata atom bukan partikel terkecil karena bisa dibelah lagi menjadi proton dan neutron. Ilmuwan pada masa itu akhirnya sepakat bahwa proton dan neutron adalah partikel terkecil. Namun pendapat ilmuwan itu kini terpatahkan lagi karena proton dan neutron bisa dibelah lagi menjadi nukleon. Akal manusia yang sekarang hanya mampu berfikir bahwa nukleon adalah partikel terkecil. Ini adalah contoh bahwa kebenaran logika tidaklah absolut karena akal sebagai mesin pencarinya bersifat terbatas”.

HS:  “Contoh tadi adalah hasil dari kesimpulan penelitian. Penelitian itu inderawi. Empirisme. Karena penelitian empiris sifatnya induktif (kasus khusus digeneralisasikan), sementara induktif tidak akan pernah sampai pada kesimpulan final. Sebab pada saat muncul kasus baru maka kesimpulan umum yang lama tidak bisa dipakai. Sedangkan akal sifatnya deduktif (berangkat dari yang umum ke khusus). Maka kebenarannya adalah absolut. Contoh cara kerja logika (dimana akal sebagai penggeraknya): “Setiap manusia akan mati, saya manusia, maka saya akan mati. Kesimpulan ini absolut. Tak terbantahkan oleh siapapun. Dari sini maka dapat ditarik kesimpulan lain bahwa setiap yang diyakini oleh akal maka itulah yang diyakini oleh Tuhan. Karena hanya akal yang bisa merapatkan diri dengan Tuhan yg Maha Absolut, setiap yang absolut maka harus didekati oleh yang absolut yaitu oleh akal, indera tidak mungkin bisa”.**[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com