Categories: Filsafat

Islam Indonesia Harus Dimurnikan Kembali? Think Again..

Ilustrasi: harjasaputra.com

Menarik untuk mengutip pendapat Masdar Hilmy, dosen Pascasarjana IAIN  Sunan Ampel, yang dipublikasi di Harian Kompas (24/11/2012). Satu gagasan yang realistis dan kritis disertai pemetaan umat Islam Indonesia dihadapkan dengan pusat kelahiran Islam, yaitu di Jazirah Arab. Ia mengistilahkannya dengan Islam Pusat vs Islam Pinggiran: Islam pusat adalah jazirah Arab (dalam hal ini sering diidentikkan dengan Saudi Arabia) dan Islam Indonesia adalah Islam pinggiran.

“…Islam pusat sebagai yang autentik dan pinggiran sebagai yang terdegradasi atau terdevaluasi; pusat sebagai imam sementara pinggiran sebagai makmum. Pola relasi semacam ini tidak lain adalah sebentuk patrimonialisme ideologis-religius yang memandang Islam Indonesia dalam posisinya yang inferior, kelas dua”, paparnya.

Karena dianggap sebagai Islam pinggiran, yang sudah jauh dari epicentrumnya, maka seringkali dianggap Islam Indonesia harus dimurnikan, yaitu harus sesuai dengan pusatnya. Maka, lahirlah gerakan-gerakan pemurnian Islam di bumi Nusantara yang justru muncul jauh setelah kedatangan Islam di negeri tercinta kita ini.

Inti dari tulisan itu adalah mengajak memahami bahwa Islam Indonesia lahir sebagai evolusi baru dari Islam pusat sehingga tak perlu dimurnikan karena jika ada pandangan semacam ini, akan merugikan umat Islam Indonesia, karena dianggap sebagai Islam yang non-otentik.

Mari kita lihat sejarah kemunculan Islam. Islam menurut pandangan para ahli sejarah sudah ada di bumi Indonesia dari abad ke-7 M. Meskipun tentang ini banyak pendapat, tapi yang banyak digunakan, misalnya oleh Hamka, Poortman, dan lainnya, adalah pada abad tersebut. Sementara Snouck Hurgronje, Pijnapel, dan Morrison menyebutkan awal kemunculan Islam di Indonesia adalah pada abad 12-13 M.

Islam di jazirah Arab mulai muncul sejak tahun 612 M yaitu ketika Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama. Artinya rentangnya tidak jauh antara munculnya Islam di Jazirah Arab dengan di Indonesia. Dengannya, para ulama yang datang menyebarkan Islam ke Indonesia adalah dari kalangan para tabi’in. Bukan sembarang orang. Penyebar Islam ke tanah air adalah ulama pilihan. Yang kemudian lebih intensif setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pada zaman Wali Songo.

Penyebaran Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh para Wali Songo, adalah evolusi baru. Meminjam Istilah Masdar Hilmy, sebagai sebuah hibriditas keberagamaan “baru” yang terbukti dapat berdialog dan kemudian bersenyawa dengan unsur budaya lokal. Budaya lokal sebagai permukaan dan cara untuk bersenyawa tanpa harus mengikis esensi keberagamaan yang hakiki. Itulah sebabnya unsur-unsur kebudayaan lokal yang banyak didominasi oleh budaya Hindu masih diadopsi oleh para Wali Songo seperti Wayang dan budaya lainnya.

Jika para ulama penyebar Islam di Indonesia adalah para ulama dari tabi’in, bukankah mereka lebih faham mengenai esensi ajaran Islam? Lantas kenapa harus ada gerakan pemurnian kembali?

Tidak hanya itu, semangat pemurnian ajaran Islam (purifikasi) yang dilakukan akhir-akhir ini di Indonesia dengan kiblat Saudi Arabia dengan mengusung gerakan pemberantasan bid’ah dan khurafat pun berbeda dari para penggagas gerakan pembaharu. Lebih ke arah pemurnian cara-cara ibadat (fiqh). Padahal penggagas gerakan pembaharu seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha tidak ke arah itu. Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh menekankan Pan Islamisme, persatuan umat Islam tanpa memandang batas-batas teritorial. Rasyid Ridha memang mengakui bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah adanya bid’ah tapi penafsirannya bukan murni fiqh tapi lebih ke arah memberantas faham-faham fanatisme sembari mengembangkan konsep jihad, namun jihad menurut Rasyid Ridha adalah berusaha keras, aktif, dan dinamis. Karena dalam ajaran Islam terkandung nilai-nilai itu.

Dengan demikian, Islam Indonesia memang berbeda dengan epicentrumnya karena inilah Islam Indonesia yang otentik tanpa harus kehilangan esensi dari ajaran Islam itu sendiri. Pemurnian dari aspek fiqh dan harus sesuai dengan Islam di jazirah Arab sama saja meragukan kualitas ulama, dalam hal ini para tabi’in sebagai penyebar Islam pertama di Indonesia.**[harjasaputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Lihat Komentar

  • Islam di Indonesia harus dimurnikan itu jelas sekali, bahkan sudah dikabarkan dalam Ramalan Sabdo Palon sekitar 500 tahun yg lalu, jauh sebelum Indonesia dilahirkan. Dan lagi toh tidak salah membawa Islam yg salah / belum yg sempurna menjadi Islam yg sempurna / kafah. Sejarah membuktikan Daulah Khilafah Islam dapat menyatukan berbagai suku bangsa dan budaya yg jauh lebih heterogen dan lebih banyak dari yg ada di Indonesia saat ini.

  • Pemurnian dari aspek fiqh dan harus sesuai dengan Islam di jazirah Arab sama saja meragukan kualitas ulama, dalam hal ini para tabi’in sebagai penyebar Islam pertama di Indonesia.

    masalahnya, apa benar islam yang saat ini adalah sama dengan yang disebarkan oleh para tabiin tersebut mas :-)

    apa benar yang diarab saudi itu smaa dengan yang dibawa rasulullah SAW

    jawabnya cuma kembali pada al-Quran dan hadist.. itu sumber kita..

Share