Categories: Filsafat

Inilah Keutamaan Mengendalikan Amarah

Illustrasi: gundargerm.wordpress.com

Suatu sore seorang Kakek setelah mandi berkata pada anaknya: “Kakek mau tidur dulu, kalau kakek tidak bisa bangun tolong rawat nenek”. Anaknya tidak berkata apa-apa, karena tidak mengerti apa maksudnya. Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu. Malam pun tiba. Si Kakek masih belum bangun juga. Si anak penasaran, dilihatnya si kakek ke kamar. Ternyata si Kakek bukan tidur biasa, ia tidur untuk selama-lamanya. Kakek sudah meninggal dunia. Si Kakek meninggal dunia dengan keadaan senyum, tidak terbersit di wajahnya rasa nyeri di saat malaikat ajal menjemput.

Orang-orang datang melayat jenazah si Kakek. Setelah semua ritual pemakaman jenazah dilakukan dan mayat si Kakek disemayamkan, warga di kampung itu berkumpul di malam harinya untuk berdoa bagi si Kakek. Satu percakapan yang terus terlontar dari warga desa, mereka heran karena si Kakek meninggal dunia tanpa tanda apa-apa. Tidak sakit, tidak kecelakaan, tidak juga karena penderitaan. Berbagai testimoni dari para warga akhirnya terungkap, dan semuanya seragam. Apa itu? Si Kakek adalah orang yang tidak pernah marah.

Ya, si Kakek yang meninggal itu adalah sosok yang sangat dikagumi di desa tersebut. Selain karena kesederhanaannya, ketekunan dalam bertani, hal lain yang membuat dikagumi adalah si Kakek: tidak pernah marah.Padahal si Kakek dikenal bukan sebagai seorang kyai atau yang “sangat shaleh”. Hanya orang biasa. Bahkan ada yang mengatakan, ia sebagai pemeluk aliran kepercayaan, atau disebut dengan Islam Kejawen.

Pernah suatu waktu di kebunnya, tanaman pisang yang telah berbuah dan tinggal dipetik raib dicuri oleh maling. Si Kakek tidak berkata apa-apa, malah hanya tersenyum. Ditanya sama warga di sekitar kebun, “Kek, pisang dicuri kok malah senyum..”. Dijawab olehnya, “Biarkan saja, mungkin dia lapar tidak punya untuk dimakan. Berarti pisang Kakek bisa mengenyangkannya. Alhamdulillah..”. Di saat kemalingan si Kakek masih sempat bersyukur, bukan mengumpat menebar kemarahan.

Kematian si Kakek menjadi pelajaran berharga, bahwa mengendalikan amarah bukan hanya menimbulkan efek bagi jiwa, tetapi lebih jauh lagi malaikat pun menghormati nyawa dari manusia yang tidak pernah marah.

Mengumbar amarah dalam berbagai ajaran agama sangat dilarang. Dalam ajarah Budha, marah kepada sesama makhluk apalagi sampai membunuhnya, bahkan kepada binatang pun, sangat tidak diperbolehkan. Para biksu dan biksuni adalah murid-murid Budha yang bertugas menyebarkan kedamaian tanpa amarah. Begitu juga dalam tradisi agama Hindu. Pendeta (dalam bahasa Balinya Pedanda) merupakan sosok agamis Hindu yang memberikan contoh bagaimana ajaran Hindu, salah satunya tidak boleh marah. Ajaran Hindu, bahkan telah begitu kental dalam budaya kita di Indonesia, terutama di tatar Jawa. Islam Kejawen adalah ajaran gabungan antara ajaran Islam dan Hindu. Ada satu ajaran yang sangat ditekankan dalam Islam Kejawen: “Tidak boleh marah”.

Dalam tradisi agama Kristen, Isa (Yesus) adalah “Nabi Peramah”. Berbeda dengan Nabi Musa sebagai sosok yang sangat tegas, agak pemarah (tetapi konotasinya beda dengan marah dalam pengertian kita). Dalam ajaran Islam pun marah sangat dilarang. Nabi Muhammad pernah dimintai nasehat oleh sahabatnya, Nabi berkata: “Jangan marah”. Lantas apa lagi? tanya sahabatnya. Dijawab oleh Nabi Muhammad: “Jangan marah”. Lantas apa lagi? Masih dijawab: “Jangan marah”. Nabi melarang agar tidak marah sampai tiga kali. Artinya, begitu penting untuk mengendalikan amarah, dan begitu tercelanya marah dalam ajaran agama.

Banyak penelitian dari medis pun membenarkan mengenai efek dari marah. Benar adanya, bahwa marah akan membuat seseorang menjadi cepat tua. Otot muka pada saat marah lebih banyak digunakan dan muka menjadi mengkerut pada saat marah. Berbeda dengan pada saat senyum. Otot muka lebih relaks dan tidak mengkerut.

Tidak hanya itu, marah diyakini juga menurunkan aura jiwa. Karena katanya setiap manusia dikelilingi oleh aura yang terlihat seperti sinar (tapi tidak bisa dilihat secara kasat mata). Setiap orang memiliki warna aura yang berbeda-beda. Jika selalu berbuat baik maka warna auranya lebih terang, putih dan menyilaukan. Sebaliknya, orang yang lebih banyak berbuat jahat, menyakiti orang lain, warna auranya kelam. Saya punya teman yang ahli dalam melihat aura ini. Masalah kebenarannya hanya Tuhan yang tahu. Tetapi ada satu hal yang menurut saya logis. Setiap kali manusia marah, maka sinar auranya berkurang. Lebih sering manusia marah, aura kita semakin kabur.

Saya juga pernah bertemu dengan ahli pengobatan dari ajaran Shaolin China. Kesaktian seseorang dalam ilmu Shaolin dapat diperoleh melalui latihan keras dan menahan amarah. Kesaktian sejati manusia menurut pakar Shaolin hanya dapat ditempuh ketika manusia mengendalikan amarahnya. Tidak mungkin tercapai pada kesaktian jiwa ketika seseorang marah. Bahkan tingkatan ilmu yang telah dicapai, ketika marah, maka ilmunya akan menurun lagi.

Olahraga Yoga yang saat ini booming tujuan utamanya adalah mengendalikan emosi atau mengendalikan amarah. Dengan metode meditasi, hening dalam keramaian, jiwa diajak mengudara ke alam sunyi. Jiwa diajak menemukan tempatnya yang sejati. Yaitu jiwa yang penuh kedamaian, bukan jiwa pendendam, bukan jiwa pemarah. Menurut pengakuan banyak orang yang mengikuti Yoga, aktivitas sehari-harinya lebih ringan, dan tidak mudah stress. Karena stress umumnya dikarenakan oleh amarah.

Bulan ini adalah momen penting bagi umat Islam, yaitu bulan puasa Ramadhan. Bulan pengendalian diri, bulan pengendalian amarah. Tapi jangan sampai hanya menahan amarah karena di saat berpuasa saja, dan jangan sampai menahan amarah hanya di bulan ini saja. Karena menahan amarah adalah sebuah keharusan. Setiap kejahatan bermula dari amarah. Setiap pertengkaran bermula dari amarah. Ketika ini bisa ditekan, maka akan ada damai di hati, damai di jiwa, damai di kehidupan, damai di akherat. Semoga bermanfaat…**[harja saputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share
Tags: agamamarah