“Guru yang Berhasil adalah muridnya lebih pintar dari gurunya”..
Ungkapan itu bisa jadi sebuah pembelaan dari guru yang kalah pintar dari muridnya. Karena tidak mau disebut gagal, maka ia berkilah dengan ungkapan itu, bahwa kalau muridnya lebih pinter (gurunya kurang pintar dari muridnya) maka sebetulnya itu guru yg berhasil.
Bisa juga menjadi motivasi bagi murid, bahwa murid bisa saja atau harus pintar dari guru. Karena belajar bukan berarti meniru guru. Belajar bukan hanya sebatas mentransfer ilmu, tetapi memberikan instrumen bagi murid untuk dapat memahami sendiri apa yang harus dipelajari.
Quantum learning adalah proses belajar mengajar di mana guru bukan dijadikan sentral tetapi sebagai fasilitator. Sentral dalam pembelajaran adalah muridnya sendiri, yaitu potensi yang ada pada diri masing-masing murid. Jika guru menjadi sentral maka outputnya adalah seragam, yaitu angka hasil penilaian dari guru. Tetapi jika murid sebagai sentral outputnya bisa beragam. Bisa dinilai dari pengembangan diri, pengembangan psikis, interaksi, atau kepatuhan terhadap moral.
Kepatuhan terhadap moral bukan diartikan “tidak nakal”. Karena indikator “Nakal” berbeda-beda persepsinya dari setiap orang sesuai dengan latar belakang guru, pendidikan, lingkungan, dan apa yang dipelajarinya. Moral adalah nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, keberanian, keberpihakan pada yang benar. Murid yang sering protes bukan berarti nakal. Protes jelas sesuatu yang baik, asal memiliki tujuan untuk mendapatkan jawaban atau menggugat sesauatu yang dinilai anak tidak sesuai.
Masih banyak kasus dimana guru salah menafsirkan kata “Nakal”. Kenakalan sudah saatnya didefinisikan ulang agar tidak mengalami salah persepsi. Dan itu definisinya bermacam-macam, tidak sama di diktat-diktat kuliah. Sehingga hasilnya guru seringkali salah dalam menilai perilaku anak.**[harja saputra]