Categories: Filsafat

Debat Masalah Ucapan Natal? Basi!

Ilustrasi: harjasaputra.com

Setiap menjelang natal dan tahun baru, topik dari tahun ke tahun selalu sama: ribut masalah ucapan natal. Bosen banget. Apa gak ada topik lain?

Menurut saya pribadi–boleh setuju boleh tidak–penulis yang bahas itu kemungkinannya dua: emang penulis baru ‘turun gunung’ atau penulis kuper. Iyalah kuper, karena semakin tua dan semakin banyak ilmunya manusia akan lebih toleran. Jika seseorang bertambah umur dan bertambah ilmunya lalu tidak lebih toleran, maka dipastikan ia bergaul hanya dengan orang atau kelompok itu-itu saja. Tidak pernah melihat dunia lain.

Plato mengibaratkannya dengan orang yang bertahun-tahun berada di gua dan hanya tahu sinar matahari dari cahaya yang masuk ke dalam gua. Ketika ia keluar gua, ia tak lantas percaya bahwa benda bulat yang bersinar di atasnya adalah matahari. Baginya matahari bukan itu, tapi rembesan sinar saja. Ya repot kalau sudah begini.

Agama itu hanya sekadar sarana, metode, atau jalan untuk menuju Sang Maha Kebaikan. Tuhannya tetap satu. Ratusan agama boleh ada, tapi Tuhannya sama. Kenapa? Iya dong, kalau Tuhan lebih dari satu, lantas alam ini ciptaan dari tuhan yang mana? Ketika ada dua tuhan atau lebih maka otomatis akan banyak alam. Dan, di antara alam-alam ciptaan tuhan-tuhan itu pasti ada ruang kosong. Lantas, ruang kosong ini ciptaan siapa? Dengannya mustahil tuhan itu banyak. Pasti satu.

Permasalahannya adalah bukan di keesaan Tuhannya. Tapi di persepsi manusia terhadap Tuhan. Agama yang dibawa sekarang dibawa oleh orang-orang bukan datang sendiri. Dikarenakan dibawa oleh orang maka di situlah bercampur persepsi, dan terjadilah ragam pemahaman mengenai Tuhan. Tuhan sendiri tidak terikat oleh pemahaman manusia. Dzat-Nya tidak mungkin bisa dipersepsi. Persepsi manusialah yang beragam karena memang berada di level pemahaman.

Perbedaan pemahaman inilah yang kemudian menimbulkan huru-hara. Acara-acara keagamaan adalah cerminan dari pelembagaan agama yang berbeda-beda. Agama beda, persepsi tentang Tuhan pasti beda, dan cara ekspresi mendekatkan pada Tuhan pun pasti beda.

Kenapa harus ribut mendebatkan perbedaan-perbedaan? Perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Jangankan antara dua orang atau lebih. Di dalam diri kita saja (yang hanya sendiri) pasti ada perbedaan. Ketika kita memutuskan satu hal: di dalam diri kita pasti ada pertarungan pendapat, ada perbedaan kehendak.

Misalnya kita hendak memilih baju: pasti di dalam diri kita terjadi perbedaan pendapat, antara iya dan tidak. Si ‘pembisik baik’ mengatakan iya, si ‘pembisik jahat’ mengatakan tidak. Pertimbangan rasionallah jalan tengah yang selalu digunakan oleh setiap orang. Meskipun, tingkat rasional setiap orang berbeda-beda, tapi konsep bahwa perbedaan itu keniscayaan tidak dapat disangkal.

Nilai kemanusiaan seperti perdamaian, kejujuran, dan sebagainya adalah nilai-nilai universal yang harus dijunjung tinggi. Hal ini karena pada nilai-nilai universallah agama mengkerucut. Titik temu semua agama adalah pada nilai-nilai universal. Semua agama dan semua orang sepakat pada nilai-nilai universal ini.

Siapa yang tidak setuju bahwa kejujuran adalah penting? Siapa yang tidak setuju bahwa kepedulian terhadap manusia itu penting? Siapa yang tidak setuju bahwa keadilan adalah penting? Siapa yang tidak setuju bahwa perdamaian itu penting? Jika semua setuju pada nilai-nilai ini lantas buat apa mencari yang lain.

Mengucapkan hari raya pada pemeluk agama lain atau tidak mengucapkan bukan termasuk nilai-nilai universal. Itu hanya bagian kecil yang tidak ada apa-apanya dalam beragama. Setiap orang pasti memiliki pendapat masing-masing yang tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan pendapat. Para tokoh agama pun pasti berbeda-beda pandangan akan hal ini. Ini hal yang wajar. Karena bergerak di hal parsial.

Orang yang bijak bukan berarti harus sama pendapatnya dengan orang lain masalah mengucapkan selamat hari raya ini, tapi ketika ia berbeda pandangan, ia tentu akan memikirkan ketika ia mendeklarasikan itu pada orang lain akan menyakiti perasaan ataukah tidak.

Mungkin akan ada yang berpendapat bahwa debat atau berselisih paham tentang masalah ini adalah bagian dari diskusi. Bagian dari diskursus. Saudara-saudara, diskusi atau diskursus itu bisa terjadi jika ada yang disepakati terlebih dahulu. Baru ada diskusi.

Diskusi berangkat dari satu pengertian yang sama dan mendiskusikan bagian lain yang tidak sepakat. Tapi kalau di awal tidak ada pemahaman yang menjadi titik-temu apanya yang mau didiskusikan? Alih-alih mencari titik-temu untuk mendapatkan pemahaman baru tapi yang terjadi adalah saling menyalahkan. Woalah..waktu hidup sudah sebentar terus ngurusin yang sia-sia begitu?

Saling menghargai dalam keberagamaan itu simpel kok. Hargai agama orang lain, jika tidak setuju silahkan diam.**[harjasaputra]

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share