Menyimak perdebatan atas pernyataan Ustadz Tengku Zulkarnain mengenai warna kulit para penghuni surga berhasil membuat saya berpikir keras. Terdorong untuk membaca kembali banyak literatur mengenai teori berat dari ilmu filsafat, khususnya mengenai konsep metafisika, kosmologi, juga konsep materi, waktu, ruang, dan gerak.
Pertanyaannya: apakah betul warna kulit penghuni surga merah jambu? Jawaban gampang atas pertanyaan itu: tidak ada yang tahu, sebab belum pernah ada yang sudah masuk surga kembali lagi ke dunia ini dan menceritakan tentang warna kulit orang yang di sana.
Itu jawaban gampang. Namun, jawaban itu tidak sepadan dengan metode yang digunakan oleh si pelontar pernyataan. Jawaban seperti itu bersifat empiris, sedangkan pernyataan Tengku Zulkarnain bukan empiris, melainkan menggunakan pendekatan demonstratif spekulatif. Tidak juga menggunakan metode naqli, karena tidak ada ayat yang secara tegas mengatakan hal tersebut.
Cara terbaik menepis pernyataan demonstratif spekulatif harus dilawan dengan metode yang sama.
Salah satu argumentasi Tengku Zulkarnain yang menjadi dasar dari keyakinan bahwa warna kulit penghuni surga adalah merah merona atau merah jambu, karena menurutnya kulit Nabi Adam dan Hawa pada saat diciptakan di surga pun warnanya merah merona.
Sah-sah saja pendapat itu, tidak ada yang salah. Tujuannya mungkin bukan hendak mengatakan bahwa kulit hitam itu jelek, tetapi maksudnya semua yang masuk surga akan bertransformasi menjadi bentuk yang paling sempurna.
Namun, pernyataan itu masih menyisakan banyak hal musykil. Kenapa? Mayoritas kita pada saat mendeskripsikan surga, selalu berdasarkan standar pemahaman materi yang ada di dunia. Padahal tidak bisa. Sangat berbeda antara materi di dunia dengan materi di alam sana.
Pemahaman kita pada materi atau aspek kebendaan yang ada di dunia ini, selalu melibatkan konsep waktu, tempat, dan gerak. Teori-teori dalam Iimu fisika pun dasarnya sama, yaitu tentang relasi antara materi, waktu, ruang, dan gerak.
Gerak atau kecepatan dalam ilmu fisika rumusnya adalah: jarak dibagi waktu. Adapun di alam sana, di surga, mungkin masih ada konsep waktu, ruang, dan gerak, tetapi berbeda substansinya.
Waktu di dunia saja konsepnya sangat beragam, tidak tunggal. Konsep satu hari adalah 24 jam hanya berlaku untuk waktu di bumi. Sesuai dengan perputaran bumi. Satu tahun adalah 365 hari sesuai dengan perputaran bumi mengelilingi matahari.
Bagaimana kalau di planet lain? Tentu saja berbeda. Di planet Saturnus atau Jupiter yang ukurannya lebih besar daripada bumi pasti satu harinya tidak akan sama dengan di bumi. Bisa jadi 10 kali lipat atau lebih lamanya. Begitu seterusnya jika dibandingkan dengan planet lain. Tergantung apa mengitari apa, dan tergantung ukuran gerak tadi: waktu dan kecepatan dari perputaran planet.
Lalu bagaimana di alam akherat sana? Jelas jauh berbeda ukuran waktunya. Bahkan bisa jadi timeless (tidak berwaktu). Usia kita saja di sana kekal, tidak akan mati, dengannya dari aspek waktu saja sudah berbeda.
Di dunia, konsep waktu, gerak, dan tempat menjadi obyek ilmu fisika. Adapun di akherat bukan ranah fisika lagi, tetapi ranah metafisika. Meta dalam bahasa Yunani artinya “after” atau “beyond“. Ruang lingkup kehidupan di akherat adalah beyond fisika. Jauh di atas jangkauan fisika, maka disebut metafisika.
Dalam teori filsafat Henry Bergson, ada yang disebut konsep metaphysic of time atau kalau saya singkat dengan istilah metatime. Apakah waktu benar-benar ada ataukah waktu itu sebetulnya tidak ada, hanya serapan inderawi dan akal saja? Banyak teori tentang ini. Termasuk teori tentang zaman (waktu) dari Ibn Sina yang tidak akan dibahas secara khusus di sini.
Satu hal yang perlu direnungkan, jika kehidupan materi di sana adalah metafisika, maka waktunya pun dengan sendirinya metatime, geraknya pun metagerak, dan tempatnya pun metatempat, yang disebut dalam kitab suci dengan ungkapan “luasnya seluas langit dan bumi”.
Maka, masalah warna kulit atau warna apapun di sana juga harus dipahami sebagai metawarna. Beyond color.
Warna di dunia ini saja terdiri dari ribuan warna. Warna dasar hanya beberapa warna, tetapi gabungan dari warna-warna itu melahirkan banyak warna. Kode warna di komputer, baik dengan kode hexa atau kode lain memiliki gradasi warna yang sangat banyak.
Jika disebutkan bahwa warna kulit di surga adalah merah jambu, maka sebenarnya itu warna campuran yang terdiri dari banyak warna bersatu. Ketika kita memahami hal itu, berarti di sana juga banyak warna. Artinya warna akan sangat dinamis. Tidak tunggal warna. Sebab kalau tunggal justru pilihannya hanya warna putih absolut dan warna hitam absolut. Bahkan ketika disebut warna hitam absolut atau putih pun, kedua warna itu sesungguhnya campuran juga dari semua warna.
Itu yang saya sampaikan di awal, tidak bisa kita memahami warna di alam akherat dengan pendekatan warna di sini. Warna di sana metacolor, sedangkan warna di dunia saja yang beribu-ribu jumlahnya sifatnya dinamis. Apalagi di sana.
Warna kulit juga berkaitan dengan proses perubahan materi di salam sel kulit. Pertanyaannya apakah sel kulit para penghuni surga itu dinamis dan berevolusi ataukah tidak? Jika ada materi, maka pasti ada gerak. Tidak bisa dibayangkan jika gerak di dunia yang terbatas saja sangat banyak, lantas dikatakan gerak warna di akherat menjadi tunggal. Seharusnya karena semua tidak terbatas, maka gerak warna pun menjadi sangat tidak terbatas atau lebih bervariasi dari warna yang ada di dunia.
Kembali lagi pada rumus awal, bahwa pernyataan itu lahir dari pemahaman kita memahami unsur materi di dunia. Bisa jadi semua pemahaman yersebut keliru dikarenakan di sana sifarnya metafisika, metawarna, metagerak, metaruang, dan seluruh unsurnya adalah meta alias beyond our perception.*