Dalam blog saya di http://harjasaputra.wordpress.com pada saat memposting tulisan mengenai “Statistik Pemeluk Agama di Dunia” yang dikutip dari situs icc-jakarta.com (bulan Juli 2009), tempat penulis bekerja pada tahun tersebut. Responsnya luar biasa, dengan jumlah komentar lebih dari 100 komentar, baik komentar yang baik maupun makian atau bernada emosi pada pendapat orang lain.
Di sinilah terlihat jelas bahwa ketika berhadapan dengan “Agama”, pemeluk agama tertentu cenderung subyektif dan mengedepankan emosinya. Padahal, tujuan agama adalah untuk mendamaikan. Agama, ketika dipahami sebagai “lembaga” maka cenderung eksklusif. Tidak salah apa yang ditulis oleh Armstrong dalam buku “Sejarah Agama-agama”, agama dari rangkaian sejarah menimbulkan malapetaka, pertumpahan darah. Namun, apakah betul agama seperti itu sifatnya?
Kenyataan bahwa agama pemicu konflik adalah nyata, hal inilah juga yang memicu John Hick dalam berbagai bukunya untuk mempopulerkan pemikiran mengenai “Pluralisme Agama”, bahwa agama dalam makna pengalaman keagamaan adalah berbeda-beda dalam diri seseorang karena keterbatasan pemahaman manusia terhadap Yang Real (Tuhan). Atau, meminjam perkataan Arkoun, Tuhan dan Firman Tuhan adalah absolut. Tetapi Firman Tuhan itu bisu, ia hanya bisa berbicara ketika dibaca, difahami, dan disampaikan pemahamannya kepada orang lain. Sehingga yang awalnya absolut namun karena telah mampir dalam pikiran manusia maka ia menjadi relatif. Artinya, ada ruang kemungkinan kesalahan dan kebenaran pada pemikiran seseorang terhadap pemikiran agamanya.
Agama harus dipahami bukan dari lembaganya, karena jika berhenti pada pemahaman kelembagaan agama maka akan terjebak pada eksklusivisme. Agama harus dipahami dari nilai-nilai universalnya. Nilai universal bersifat umum dan tidak relatif. Misalnya nilai kejujuran, keadilan, larangan untuk berbohong, dan nilai-nilai universal lainnya adalah nilai-nilai umum yang dapat diterima oleh setiap pemeluk agama, dan bahkan ada di setiap ajaran agama.
Jadi, apapun agamanya (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan agama serta kepercayaan lainnya) itu adalah masalah pelembagaan agama yang setiap orang boleh meyakini dengan sepenuhnya. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah implementasi agama dalam kehidupan, yaitu “moral dan etika” yang lebih utama.
Muthahhari dalam buku “Keadilan Ilahi” bahkan menyebutkan bahwa setiap orang (apapun agamanya) jika dalam hidupnya berbuat kebaikan yang bermanfaat bagi orang lain, maka dia dengan sendirinya mendapat kesempatan untuk masuk surga. Dengan demikian, amal adalah tolok ukur dari keadilan Tuhan. Jika Tuhan hanya memasukkan ke surga dari agama tertentu, maka hal ini tidak adil.
Agama-agama yang ada (baik agama samawi–agama yang dibawa oleh Nabi yang kita kenal maupun agama yang dikategorikan sebagai agama non-samawi yaitu seperti Hindu, Budha, aliran kepercayaan–meskipun sebetulnya tidak cocok dengan pengkategorian ini karena jika ditelusuri lagi seluruh kebijaksanaan adalah berasal dari nabi-nabi Allah yang tidak disebutkan seluruhnya di dalam Kitab Suci) sudah saatnya untuk dipahami sebagai pemersatu manusia bukan sebagai pemicu konflik.
Agama pun tidak perlu dibela (seperti pemahaman yang salah dari konsep “jihad” bahwa jihad adalah membela agama Tuhan atau memerangi Anti-Kristus seperti yang pernah terjadi di abad ke-13 M). Agama datang dari Tuhan Yang Maha Kuat, dan Dia berjanji akan menjaganya sendiri. Manusia sangat naif jika bertekad untuk membela Tuhan. Karena manusia lemah sedangkan Tuhan adalah Yang Maha Kuat. Yang perlu dibela oleh manusia adalah sesama manusia.”**[harja saputra]