Obrolan ringan kontennya berat:
A: Gimana sih bawang aja kok impor?
B: Kenapa emang? Ga suka dengan impor? Jangankan bawang, agama aja kita ngimpor kok…#tueeeeng…
“Saya orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia..”
Dua status itu di-copas dari status lama saya di FB. Banyak juga tulisan-tulisan saya di blog ini yang bernada sama. Di antaranya tulisan dengan judul: “Islam Indonesia Harus Dimurnikan Kembali? Think Again“.
Di tulisan itu dijelaskan mengenai bagaimana dan apa iya Islam Indonesia itu harus mengikuti Islamnya Timur Tengah ataukah memang Islamnya Indonesia merupakan bentuk transformasi baru dari Islam yang memang secara sengaja dirancang oleh para penyebar Islam pertama.
Para penyebar Islam pertama di Indonesia bukan sembarang ulama. Intinya, Islam Indonesia memang berbeda dengan epicentrumnya karena inilah Islam Indonesia yang otentik tanpa harus kehilangan esensi dari ajaran Islam itu sendiri.
Gerakan “Islam Nusantara” yang kini ramai diperbincangkan sebagai ide dari NU yang saya yakin sudah dikaji oleh para ulama dengan berbagai disiplin ilmu keagamaan. Dari inti tujuan “Islam Nusantara”, dari dulu saya memang penganut “Islam Nusantara”, meskipun istilah ini sesungguhnya kurang tepat juga. Kenapa?
Para Wali Sembilan maupun para ulama awal yang datang sebelumnya bahkan tidak pernah menamakan ajaran yang dibawanya dengan nama baru. Islam ya Islam. Memang begitu seharusnya, mampu beradaptasi di manapun. Mampu menyesuaikan dengan kultur apapun. Hal itu sebagai perwujudan dari rahmatan lil alamin, rahmat bagi semua alam.
Sengaja digarisbawahi kalimat “Semua alam” di atas, karena bukan saja agama itu mampu beradaptasi di belahan dunia manapun, tetapi juga di alam manapun. Hal ini sesuai dengan prinsip kebenaran, bahwa “kebenaran sejati tidak mengenal ruang”.
Satu ditambah satu sama dengan dua akan sama hasilnya di belahan bumi manapun. Dua lebih besar dari satu akan sama di manapun, bahkan di alam ghaib dan akherat pun kebenaran tentang hasil 1+1 = 2 dan dua lebih besar dari satu adalah mutlak/absolut.
Itulah ilmu hakiki yang dicari-cari oleh al-Ghazali. Al-Ghazali pernah mengatakan, bahwa metode pencarian kebenaran yang hakiki adalah metode yang mampu meyakinkan setiap orang seperti keyakinan mutlak kita bahwa dua adalah lebih besar satu.
Islam hakiki tidak akan berbeda dengan ajaran agama lain, yaitu pada nilai-nilai universalnya. Semua agama mengkerucut pada nilai-nilai universal seperti: keadilan, keberanian, kasih-sayang, dan lainnya. Hal ini bukan berarti juga bahwa semua agama sama.
Jika Islam dinamakan dengan nama baru “Islam Nusantara” hal tersebut berarti memunculkan isme baru di luar Islam hakiki. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa Islam hakiki tidak cocok diterapkan di Nusantara. Setiap isme harus dipatahkan, kembalilah ke Islam yang hanif, yaitu Islam ya Islam. Tidak ada embel-embel Nusantara pun Islam memang sudah begitu substansinya.
Hal tersebut sama saja dengan mengatakan, “Awal puasa adalah tanggal 1 Ramadhan”. Semua orang juga tahu dan memang begitu adanya, tanpa harus dipropaganda pun awal puasa ya tetap 1 ramadhan. Sudah common sense kalau orang bilang.
Istilah “Islam Nusantara” memiliki kerancuan karena di situ ada dua makna, yaitu nusantaranya bermakna kata sifat (kalau dalam bahasa Arabnya disebut na’at dan kata Islamnya disebut man’ut) dan nusantara bermakna substansi benda atau dalam bahasa Arabnya disebut mudhof ilaihi. Keduanya berbeda makna.
Jika nusantara dimaknai sebagai kata sifat dari Islam hal tersebut bermakna bahwa nusantara sebagai sesuatu yang terpisah dan bersatu dengan kondisi tertentu seperti halnya kalimat “Air Asin”. Asin itu kata sifat dari air, yang airnya sendiri awalnya tidak asin.
Makna kedua dari Islam Nusantara adalah makna penyatuan sehingga menjadi substansi tersendiri: penyatuan dari Islam di satu sisi dan Nusantara di sisi lain. Ketika menyatu menjadi eksistensi sendiri. Sama dengan istilah “Air Teh”. Teh bagi air bukan kata sifat tetapi pembentuk eksistensi yang membedakan dengan Air Kopi misalnya atau air-air lain.
Nah, Islam Nusantara yang dimaksudkan tersebut apakah kata sifat atau pembentuk substansi? Harus dijelaskan juga karena berkaitan dengan hal-hal fundamental. Namun, belum ada yang menjelaskan itu.
Sudahlah, daripada pusing-pusing membentuk gerakan Islam Nusantara yang dari terminologinya membingungkan, mending berbuatlah yang baik. Mengikuti petuah Gus Dur:
“Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yg baik untuk semua orang, Orang tidak akan tanya apa agamamu”.**
[harjasaputra.com]
Lihat Komentar
Iya... berbuat baik jarang banget liat agamanya. Tapi kalau berbuat jahat, langsung dikait-kaitkan dengan agamanya.