Terdapat dua kubu berbeda dalam perdebatan akhir-akhir ini seputar fatwa ulama. Kubu pertama berpendapat bahwa fatwa ulama itu mengikat sehingga wajib ditaati yang dengannya dapat dikatakan fatwa ulama lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan konstitusi dan undang-undang. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat kubu kedua yang memiliki pandangan bahwa fatwa ulama tidak mengikat, sifatnya sukarela, boleh diikuti dan boleh juga tidak diikuti sehingga kedudukan konstitusi dan undang-undang lebih tinggi dibandingkan dengan fatwa ulama.
Sebenarnya tidak elok dua hal itu dipertentangkan, karena bagaimanapun masalah ini sangat sensitif. Namun, dalam ranah kajian keilmuan, hal tersebut perlu didalami. Tidak ada yang tabu dalam ilmu pengetahuan. Keberadaan Tuhan saja layak diperdebatkan hingga memunculkan kajian tentang metafisika apalagi tentang masalah lain.
Fatwa ulama itu mengikat sehingga wajib ditaati oleh semua orang dan posisinya setara dengan undang-undang, bahkan lebih tinggi. Ini clear, terang-benderang, tidak diragukan lagi, seterang sinar matahari di siang hari. Namun, tunggu dulu, pernyataan itu masih menyisakan variabel “tempat”. Tepatnya, pernyataan itu hanya berlaku jika tempatnya di Iran. Perhatikan konstitusi Iran berikut ini:
Pada masa keghaiban Imam Mahdi ‘ajjalallah Ta’ala farrajah (semoga Allah menyegerakan kedatangannya), wilayate amr (kekuasaan) dan imamat-e ummat (kepemimpinan) dalam negara Republik Islam Iran berada di pundak faqih yang adil, takwa, mengerti keadaan zaman, pemberani, mampu memimpin dan kreatif (Konstitusi Republik Islam Iran, Pasal I, Azas 5).
Di Iran, meskipun kepemimpinan tertinggi berada pada ulama, yang disebut dengan Rahbar atau Wali Faqih, namun pada saat yang sama Konsitusi Republik Islam Iran memberikan peran yang amat besar kepada rakyat dalam mengelola negara. Hal ini tertuang misalnya pada Pasal 5 Azas 59, bahwa:
Pada masalah-masalah yang amat penting mengenai ekonomi, politik, sosial, dan kultural, Lembaga Legislatif dapat melakukan referendum dan merujuk langsung ke suara rakyat.
Dua hal itulah, yaitu kekuasaan tertinggi dipegang oleh ulama dan kedaulatan rakyat yang melatarbelakangi bentuk negara Republik Islam Iran. Di satu sisi Pemerintahan Republik (kedaulatan rakyat) dan di sisi Lain pemerintahan Islam (kekuasaan tertinggi berada pada tangan ulama).
Bagaimana dengan di Republik Indonesia? Berbeda sama sekali dengan di Iran. Peran ulama tidak berada di pusat kedaulatan tertinggi. Kedaulatan tertinggi adalah “Kedaulatan Rakyat”. Dengan demikian, fatwa ulama sifatnya tidak mengikat seluruh warga Negara, sebaliknya bersifat sukarela. Kedudukannya jelas lebih tinggi konstitusi dan undang-undang dibandingkan dengan fatwa ulama. Ini clear, jelas, dan terang benderang. Tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi jika mengacu pada konstitusi Negara kita.
Sekarang mari kita buat simulasi dari pernyataan itu. Jika dalam satu kondisi, antara fatwa ulama dengan peraturan perundang-undangan berbenturan, ke manakah warga Negara harus mengikut. Hal ini jangan dikira tidak banyak terjadi, justru banyak terjadi. Misalnya dalam masalah pernikahan, kehidupan berkeluarga dan kependudukan.
Di banyak kasus, pernikahan dan perceraian yang sah menurut undang-undang sering berbenturan dengan praktek pernikahan dan perceraian dalam konsep yang diterapkan para ustadz atau ulama. Hal itu memunculkan pernikahan yang disebut “pernikahan siri”, “pernikahan di bawah tangan”, dan lain-lain. Perceraian menurut doktrin agama sudah berlaku jika menyebut kalimat “pisah” atau “cerai” meskipun tidak disengaja, tetapi perceraian dalam pandangan Negara hanya sah jika diputuskan oleh pengadilan.
Selain itu, ada banyak kasus para warga yang menolak ber-KB karena katanya di kitab suci disebutkan dilarang “membunuh anak karena takut kemiskinan”. Mereka memilih memiliki anak banyak karena ada larangan tersebut dalam kitab suci.
Ini memang masalah pelik. Bukan berarti kitab suci tersebut salah atau tidak berlaku lagi, tetapi di sinilah ulama berperan. Kembali pada faktor pemahaman. Kitab suci itu tetap, sahih sepanjang zaman, namun prakteknya perlu disesuaikan dengan konteks zaman. Karena kitab suci turun bukan di ruang hampa, ia dipengaruhi oleh tempat dan waktu. Diperlukan “ijtihad” untuk membumikan ayat dalam kitab suci dengan melihat konteks zaman dan faktor-faktor lain.
Argumentasi lain yang mendasari statemen di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam pandangan Ahlus Sunnah tidak dikenal masalah kepemimpinan (wilayah). Masalah kepemimpinan sudah berakhir sejak Rasulullah Saw wafat dan setelah itu diserahkan semuanya pada umat dengan konsep ijtihad. Ibn al-Qayyim, tokoh Ahl al-Sunnah terkemuka, mengatakan bahwa Rasul Saw sendiri tidak menjelaskan mengenai masalah kepemimpinan setelahnya dan tidak turun wahyu mengenainya.
Berbeda dengan Syi’ah yang menganggap bahwa meskipun masalah agama telah sempurna saat Rasulullah saw wafat, dan oleh karena itu tidak ada Nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw, tapi kebutuhan umat manusia kepada pembimbing (al-hadi atau al-mursyid), yang menunjuki jalan kebenaran dan mengingatkan mereka dari jalan kesesatan, tidak pernah berakhir. Umat manusia selamanya memerlukan pembimbing. Karena itu ketika kenabian berakhir tidak berarti bahwa bimbingan ini berakhir pula.
Menjadi aneh, jika kemudian di Indonesia yang mayoritas Ahlus Sunnah disebutkan bahwa fatwa ulama adalah sentral dan wajib diikuti, pertanyaannya sejak kapan Ahlus Sunnah memiliki konsep wilayah (kepemimpinan), yang semua harus mengikuti fatwa ulama. Jika dalam perdebatan selalu mengatakan bahwa Ahlus Sunnah berbeda dengan Syiah dan menganggap Syiah sesat tetapi dalam masalah kepemimpinan kok menjadi meniru Syiah.
Kedua, di sini bukan bermaksud hendak mengatakan bahwa fatwa ulama itu tidak penting. Fatwa ulama itu tetap penting dan menjadi ulama itu tetap penting dan harus dihormati. Ulama adalah pewaris para nabi. Itu tidak diragukan lagi. Namun, karena negara kita negara demokrasi yang berlandaskan hukum, maka yang lebih penting lagi adalah menjadi ulama yang berada di jalur parlemen. Karena jika di jalur parlemen, ia akan mengubah hukum normatif dari ajaran Islam menjadi sebuah undang-undang yang mengikat semua warga negara.
Contoh nyatanya adalah Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang telah disahkan oleh lembaga legislatif pada tahun 2014. Konsep halal adalah ciri khas ajaran agama Islam, namun kemudian ia dinaikkan statusnya menjadi undang-undang sehingga menjadi mengikat semua warga Negara.
Dalam undang-undang itu disebutkan “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Ini jelas mengikat siapapun, tidak peduli yang memproduksi produk yang diperdagangkan itu Muslim atau Non-Muslim, semua wajib bersertifikat halal.
Kalau logikanya fatwa ulama itu kedudukannya berada di atas undang-undang, lantas untuk apa undang-undang tentang produk halal itu dirumuskan. Dalam perumusan undang-undang itu melibatkan pula MUI di dalamnya. Dengannya, disadari atau tidak, undang-undang itu lebih tinggi daripada fatwa ulama. Dengan undang-undang semua orang wajib tunduk padanya, berbeda jika hanya pada level fatwa ulama.
Ketiga, ada kerancuan mengenai definisi ulama: apa dan siapakah yang disebut ulama? Apakah ulama itu yang hanya tergabung dalam MUI? Di sinilah permasalahan itu bermula. Tidak ada definisi yang jelas mengenai ulama yang wajib ditaati. Di Indonesia asal sudah keluar dari pesantren, hapal al-Quran dan hadits meskipun sedikit, sudah disebut ustadz atau ulama.
Artis yang baru mualaf, baru belajar sedikit mengenai ajaran agama sudah disebut ustadz. Didapuk berbicara mengenai Islam di area publik. Wow..luar biasa. Bahkan, mahasiswa jurusan teknik asal mengerti sedikit tentang agama disebut ustadz atau ulama. Maka jangan heran kalau pemahaman keberagamaan kita tidak rapi, sangat beragam dan cenderung berbenturan, karena semua orang merasa paling berhak dan benar ketika berbicara tentang agama. Ini yang harus dicarikan solusinya.
Dalam sebuah forum diskusi saya pernah berpendapat, sesungguhnya yang mendesak untuk dibuat undang-undang atau peraturan adalah RUU mengenai tokoh agama. Perlu definisi atau pengaturan yang jelas mengenai apa dan siapa itu ulama atau ustadz. Jika tidak demikian, para mahasiswa jurusan dakwah seringkali tidak lebih didengar daripada mahasiswa jurusan teknik yang baru mengenal ajaran agama sedikit. Para ulama yang sudah puluhan tahun mengaji malah diejek pendapatnya daripada orang yang baru kemarin sore belajar agama. Perlukan sejauh itu pengaturannya?**[harjasaputra.com]