Menarik untuk mencermati statemen dari Menteri BUMN, Menteri ESDM dan para pengusaha terkait masalah pembatasan BBM Bersubsidi (berita lengkap dapat dilihat di laman Voice of America (voanews.com), dipublikasikan pada 11/02/2012). Menteri BUMN, Dahlan Iskan, menyebutkan bahwa Pertamina belum siap untuk melakukan konversi BBM ke gas (BBG). Meskipun demikian, jika pemerintah menghendaki untuk dilaksanakan maka Pertamina harus tunduk karena merupakan perusahaan negara.
Menteri ESDM, Jero Wacik, lebih menyoroti pada beberapa opsi yang dapat diambil oleh pemerintah. Karena sampai saat ini masih terus dikaji implementasinya bersama DPR, teknis pembatasan BBM yang seperti apa yang akan dilakukan masih belum final. Pengusaha sendiri jelas merasa keberatan karena pembatasan BBM Bersubsidi akan makin meningkatkan biaya produksi atau ekonomi biaya tinggi.
Dari berita yang dimuat Voanews di atas, di sini akan dianalisis beberapa opsi mengenai pembatasan BBM bersubsidi yang mungkin dapat bermanfaat bagi para pemegang kebijakan. Hal ini menjadi sangat penting karena masalah subsidi BBM adalah masalah populis, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, menjadikannya bukan masalah ekonomis semata tetapi juga politis karena jika tidak ditangani dengan tepat akan terjadi gejolak. Pemerintah menyadari betul hal tersebut, sehingga terjadi tarik-ulur pembatalan subsidi BBM, awalnya direncanakan Maret 2011 namun mundur lagi ke Mei 2011 dan akhirnya Presiden sudah menandatangani akan diberlakukan pada April 2012.
Pembatasan BBM lebih disebabkan karena fakta harga minyak dunia yang melesat tinggi ke angka USD 107,3 bahkan sempat mencapai angka USD 116 per barel atau naik sebesar 45% dari yang ditetapkan dalam APBN. Pertamina harus menutupi sisa kenaikan tersebut, yang akhirnya pasti dibebankan lagi ke negara. Dengan demikian, subsidi BBM untuk anggaran tahun-tahun mendatang akan bertambah sesuai dengan harga minyak dunia tersebut, sehingga total subsidi BBM bisa mencapai 12% dari total APBN (atau pada angka 120,8 trilyun) yang awalnya hanya 8% dari total APBN. Lagi-lagi, subsidi BBM menjadi lebih besar daripada belanja modal (infrastruktur dan sebagainya) (sumber data: dokumen rapat DPR-RI).
Opsinya adalah sebagai berikut:
1. Lanjutkan subsidi BBM dengan cara anggarannya ditambah. Resikonya berarti harus ada anggaran yang dikurangi. Ini tidak sehat, karena pembangunan infrastruktur sebagai faktor utama daya saing negara akan terhambat. Masyarakat banyak mengeluhkan keterbatasan infrastruktur, seperti kemacetan, minimnya sarana angkutan, dan lainnya. Jika anggaran subsidi BBM membengkak maka tidak akan mampu mengakomodasi pemecahan masalah tersebut.
2. Alternatif lain, subsidi BBM dilanjutkan dengan dinaikkan asumsi penerimaan negara dari pajak dan lainnya, tetapi meskipun demikian kenaikan asumsi peneriman pasti tidak akan berimbang dibanding angka kenaikan subsidi BBM.
3. Cabut subsidi BBM (khusus premium saja karena subsidi elpiji tidak mungkin ditarik karena untuk konversi minyak tanah bagi masyarakat tidak mampu). Anggarannya dialihkan untuk belanja modal infrastuktur, bantuan pendidikan, dan bantuan sosial (BPJS bisa diakomodir).
4. Cabut subsidi BBM dengan prinsip harga (semua premium disubsidi apakah dipakai untuk orang kaya atau orang tidak mampu semua memiliki kesempatan sama). Gantinya subsidi diberikan secara langsung kepada orang tidak mampu dengan prinsip kupon seperti dilakukan di Iran atau ke bantuan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti bantuan pendidikan atau bantuan sosial.
5. Hapuskan jenis Premium oktan 88 ganti dengan bensin oktan 90 (apalah nanti namanya). Anggaran subsidi BBM dialihkan seperti pada poin 3 dan 4.
Penulis sendiri lebih condong ke alternatif terakhir, hapus Premium oktan 88 dan ganti dengan yang beroktan 90. Pemerintah tidak perlu memberi subsidi dan masyarakat pun tidak terlalu jauh naik harganya. Jika Pertamax (oktan 92-95) di kisaran harga 8000-9000 maka BBM oktan 90 bisa di kisaran harga 5000-6000. Tidak terlalu naik dua kali lipat harga beli masyarakat. Manfaat lain adalah mobil konsumen pun tidak akan terlalu cepat rusak karena terus-menerus mengkonsumsi bensin timbal oktan 88 yang buruk untuk kendaraaan. Selain itu pembangunan infrastruktur bisa jalan, bantuan sosial bisa jalan, dan diharapkan lebih baik.**[harja saputra]
Lihat Komentar
q doakan semoga menang contes voinya ya,.. kunjungi blogku dong, http://www.kebingungan.com
@Abik: Terima kasih..Ok siap segera ke TKP..