“Mau beli apa dek”?
“Kartu perdana pak, berapa harganya?”
“15 ribu rupiah saja. Kamu beli kartu perdana emang di kampung kamu ada sinyalnya?”
“Kalau begitu ini 20 ribu, 5 ribunya untuk beli sinyal”…wkwkwkkwk
Dialog lucu itu ada di salah satu adegan film “Serdadu Kumbang” karya Ari Sihasale. Tapi tulisan ini bukan hendak meresensi filmnya. Kalau untuk melihat resensi film saya dulu sudah membuat tulisan singkatnya Di Sini.
Salah satu adegan di film itu sebetulnya hendak menyindir para operator seluler. Karena memang begitulah kenyataannya. Operator berlomba-lomba menjual pulsa tapi kadang sinyalnya tidak dikasih. Logika bisnis macam apa yang diterapkan. Konsumen membeli pulsa itu untuk bisa berkomunikasi, lah tapi kalau sinyalnya tidak dikasih jadi percuma juga beli pulsa.
Gita Wirjawan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pernah mengeluhkan kondisi ini pada Rapat Kerja di Komisi VI DPR. Ia mengatakan, “Lihat saja misalnya, saya dari bandara ke rumah mengalami 3 kali blank spot. Tak dapat sinyal. Sementara peraturan Menkominfo masih melarang operator asing masuk ke Indonesia.” Apa yang dikeluhkan oleh Gita Wirjawan tersebut adalah dirasakan juga oleh kita semua sebagai konsumen perangkat telepon seluler.
Padahal, seperti diutarakan oleh para pembicara di Indonesia International Communication Expo and Conference (ICC 2011)–kebetulan saya mendapat kesempatan hadir berkat undangan dari Admin Kompasiana–Penetrasi seluler di Indonesia lebih dari 100% jumlah penduduk Indonesia. Indikatornya jumlah SIM Card melebihi jumlah penduduk Indonesia. Tapi kalau blank spot masih banyak terasa, komunikasi data banyak putusnya, apalah arti dari penetrasi itu semua. Konsumen berhak menggugat atas minimnya ketersediaan sinyal ini. Karena apa yang dibeli tidak sesuai dengan apa yang diterima.
Menyimak pula dari pembicaraan Menkominfo di ICC 2011 bahwa target tahun 2012 disebut Indonesia Connected, tahun 2014 Indonesia Informative, dan tahun 2015 Indonesia Broadband. Pada tahap ini, masyarakat akan menjadi lebih sadar informasi, bisa membuat keputusan di berbagai bidang berdasarkan informasi yang benar. Dengannya menjadi masyarakat yang lebih rasional. Tujuan itu sudah sangat spektakuler, satu terobosan, tapi pertanyaannya: “Dengan kondisi sinyal seluler dan broadband yang byar pet–ternyata byar pet tidak hanya di listrik tapi di sinyal seluler juga–apakah realistis target tersebut?”
Satu hal yang ironis, di DPR sendiri dengan ketinggian gedung 23 lantai, dari lantai balkon rapat (lantai 2) jika Anda menggunakan SIM Card Telkomsel jangan harap bisa berinternet dengan HP atau BB, karena dijamin susah sinyal. Telkomsel sebagai perusahaan BUMN besar, anak perusahaan dari Telkom yang mendapat peringkat nomor 2 perusahaan untung setelah Pertamina, di ruang yang mengawasi kinerja BUMN sendiri sinyalnya sangat susah. Apalagi di luar DPR.
Iklan yang bombastis tidak diiringi dengan kualitas sinyal yang baik. Lantas, jika sudah begini, kapan lagi waktunya konsumen menikmati apa yang dibeli sesuai dengan apa yang diterima? Secara ekonomis jelas sangat merugikan konsumen, siapapun itu konsumennya. Apakah ke depannya konsumen masih harus beli pulsa tanpa dikasih sinyal? Mari kita layangkan protes bersama.**[harja saputra]
Dimuat juga di Kompasiana: http://teknologi.kompasiana.com/gadget/2011/07/06/jual-pulsa-tak-jual-sinyal/
Hahaha ada-ada saja leluconnya..
memang sepantasnya operator menyiapkan layanan dulu sebelum menjualnya ke pasar..
http://mastitus.blogdetik.com/2011/11/03/ban-terbaik-di-indonesia-gt-radial/
@Mastitus: Setuju mas..lelucon itu sangat mengena menurut saya.
Salam. Saya mampir ke blognya tapi kok lagi maintenance ya..