Sebelum ada Perppu Stabilitas Keuangan dalam menangani Covid-19, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tidak pernah pakai kalimat “ingin membantu pemerintah dan BUMN, memperkuat rupiah, dan menjaga stabilitas likuiditas perbankan syariah” di setiap rencana dan programnya.
Kalimat itu muncul, jika kita mau telusuri, setelah ada Perppu yang ditandatangani Presiden 31 Maret 2020. Meskipun Perppu ini baru disahkan DPR RI pada rapat paripurna tanggal 12 Mei, tetapi secara hukum sudah berlaku sejak ditandatangani.
Ini bisa dibuktikan dari setiap bahan rapat yang secara resmi dikirimkan ke Komisi VIII DPR RI atau pada acara-acara lain. Misalnya pada rapat 15 April 2020 di Komisi VIII DPR RI, BPKH secara jelas menyebut peranan lembaga ini dalam ikut menanggulangi wabah Covid-19. Yaitu: mengalokasikan dana kelolaan BPKH untuk investasi di SBSN atau Sukuk, mengkonversi dana dollar yang dimiliki BPKH untuk membantu stabilitas nilai tukar.
Artinya, BPKH ingin dianggap berperan dalam menangani Covid-19 terutama dalam skema membantu stabilitas keuangan sesuai dengan arah Perppu Covid-19.
Hal ini bisa dilacak faktor atau sebabnya. Salah satunya, dapat dilihat dari segi kelembagaan. BPKH menurut UU Pengelolaan Keuangan Haji adalah Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. Jadi masih termasuk lembaga negara.
Namun, satu hal yang perlu dicatat, bahwa status lembaga BPKH ini agak aneh. Disebut aneh, karena tidak seperti Badan Hukum Publik lain yang mendapat anggaran dari APBN. Misalnya BPJS Kesehatan adalah Badan Hukum Publik. Dapat anggaran dari APBN, bahkan bertriliun-triliun. Jika rugi, negara intervensi dengan mengucurkan dana melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BPJS Kesehatan.
BPKH berbeda. Lembaga ini tidak mendapat sepeser pun anggaran dari APBN. Seluruh biaya operasional BPKH berasal dari nilai manfaat hasil investasi uang jemaah. PP Nomor 5 Tahun 2018 membatasi jumlahnya maksimal lima persen dari perolehan nilai manfaat keuangan haji tahun sebelumnya.
Pada tahun 2020 biaya operasional BPKH adalah sebesar 324.8 miliar. 4.5 persen dari perolehan nilai manfaat hasil investasi tahun 2019.
Anggaran sebanyak itu, jika digunakan untuk Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, cukup untuk membiayai makan seluruh Jemaah haji selama di Madinah. Tahun ini direncanakan menghabiskan biaya 184,3 miliar. Selain itu, dapat membiayai makan seluruh Jemaah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina bagi yang melakukan Nafar Tsani. Rencananya menghabiskan anggaran 133 miliar. Bahkan, biaya operasinal BPKH ini lebih besar dari biaya penyelenggaraan ibadah haji di dalam negeri yang total anggarannya 299 miliar.
Gaji para anggota BPKH dan dewan pengawas BPKH pun sangat besar. Penetapan ini pun menimbulkan pro-kontra. Ditetapkan oleh Presiden RI melalui Perpres Nomor 49 Tahun 2020 pada saat Ramadhan dan saat pandemik Corona tengah melanda masyarakat. Saat para pejabat lain tidak mendapatkan THR. Para Kepala, anggota badan pelaksana serta dewan pengawas BPKH mendapatkan THR dalam jumlah fantastis.
Dan ingat, itu semua yang bayar adalah dari hasil nilai manfaat dana jemaah haji. Artinya yang menggaji adalah jemaah haji. Bukan Pemerintah. Perpres ini seakan hanya meminjam tangan Presiden saja, selanjutnya yang membayar adalah pihak calon Jemaah haji.
Dikarenakan semua biaya operasional BPKH dari hasil dana jemaah dan tidak ada sepeser pun dana dari pemerintah, maka sudah sepantasnya yang diutamakan adalah kepentingan jemaah haji. Sesuai amanat UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji bahwa BPKH punya tiga tugas pokok yaitu untuk meningkatkan: kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasional dan efisiensi biaya haji, dan kemaslahatan umat Islam.
Mengenai kritik dari banyak pihak kepada BPKH, terutama dari calon jemaah haji, hal ini sangat wajar dan memang seharusnya seperti itu. Sebab, sekali lagi, dana yang dikelola BPKH adalah dana jemaah haji, dan yang bayar gaji-gaji serta biaya operasional mereka adalah jemaah haji.
Baca Juga: 600 Juta Dollar Dana Haji untuk Perkuat Rupiah?
Dana haji pun sudah banyak membantu pemerintah dengan ditempatkannya dana haji di Surat Berharga Syariah Negara atau SBSN alias Sukuk. Hanya 45 persen dana haji yang ditempatkan di bank-bank syariah. Sisanya di SBSN, di emas sedikit rencananya sekitar 5 persen. Dan tahun ketiga ini seharusnya BPKH sudah harus fokus ke investasi langsung untuk peningkatan kualitas ibadah haji di Arab Saudi.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut, BPKH harus terus diingatkan, diawasi, dan dimotivasi untuk lebih fokus mengelola keuangan haji untuk kepentingan jemaah. Hal ini penting, mengingat kinerja BPKH sampai saat ini masih belum memuaskan.
Persentase nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana haji masih rata-rata 6 persenan tiap tahun. Tidak jauh berbeda dengan saat dikelola oleh Kementerian Agama RI. Tentang ini, bisa dicek langsung Laporan Keuangan tahunan mereka. Ditambah lagi, jika dikelola oleh Kementerian Agama tidak ada biaya dari dana haji yang diambil untuk biaya operasional yang fantastis itu. Sebab yang mengelola adalah PNS yang sudah digaji negara.
Kinerja pengelolaan keuangan haji yang dilakukan oleh BPKH seharusnya bisa lebih dari itu. Menurut klaim BPKH, keuangan haji sudah dikelola secara profesional. Ditunjang oleh kenyataan bahwa Kepala Badan dan para anggota Badan Pelaksana serta mayoritas Dewan Pengawas adalah dari kalangan perbankan dan ekonom yang sangat paham mengenai keuangan.
Tetapi kenyataannya, belum mencapai ke arah itu. Butuh dorongan dan pengawasan dari semua pihak agar BPKH dapat lebih meningkatkan kinerjanya. **