Opini

Corona dan Kita

Ilustrasi: hitekno.com

Sewaktu saya transit di Makassar mau ke Gorontalo, di ruang tunggu bandara melihat berita di TV tentang kabar dua orang WNI yang positif Corona. Saya lihat sekeliling, tenang-tenang saja tuh orang-orang di Bandara melihat berita itu. Tidak ada kepanikan apa-apa. Santai saja. Mereka beraktivitas seperti biasa, ada yang rebahan, bercengkerama dengan temannya, melihat HP, seperti pemandangan biasa di bandara.

Ada yang pakai masker, banyak juga yang tidak. Persis seperti terbelahnya keterangan dari Pemerintah, ada yang nyuruh pakai masker dan ada juga yang justru bilang pakai masker tidak perlu.

Biasalah, kita hidup di suatu tempat yang bernama Indonesia. Memang selalu begitu. Selalu tidak ada informasi tunggal yang datang dari yang punya kekuasaan. Selalu ada simpang-siur informasi. Secara tidak langsung, justru Pemerintah yang panik menghadapi ini semua. Penduduknya woles-woles saja tuh.

Gimana tidak woles, lihat saja, virus Corona yang di negara lain ditakuti, tetapi di negara kita masih bisa dijadikan bahan ketawa. Corona yang ini takut tidak?

Atau Corona yang ini gimana?

Jadi begitulah kita, selalu ada suka di antara duka. Selalu ada gembira di balik nestapa. Selalu ada canda di balik lara. Memang harus begitu. Itulah mungkin yang, membuat negara kita unik, negara lain yang terdampak virus Corona sibuknya minta ampun, di kita masih fine-fine saja.

Bukan berarti tidak harus waspada. Itu harus, tetapi juga nalar dan selera humor jangan dibunuh juga. Biarkan masyarakat menghibur diri dengan cara mereka. Jangan sedikit-sedikit dilaporkan polisi, sedikit-sedikit main tangkap, itu tandanya mereka sudah tidak punya selera humor.

Daripada mengharapkan peran pemerintah yang ternyata sudah panik tidak karuan, sampai informasi yang disampaikan pun tidak sama, ya lebih baik menghibur diri sendiri. Cara yang ampuh untuk sekadar pelipur lara.

Baca juga: Analisa Kebijakan Lockdown dalam Penanggulangan Corona

Kita mengharapkan sebenarnya negara hadir di tengah masyarakat. Hadir yang benar-benar hadir bukan cuma klaim atau pencitraan semata. Seperti semalam pas saya nonton di bioskop. Di awal pemutaran film, ada Iklan Layanan Masyarakat yang durasinya lumayan lama mengenai Virus Corona. Eh ujungnya, malah katanya Masker tidak perlu untuk mencegah virus Corona.

Pemerintahan Singapura buktinya membagikan secara gratis masker kepada seluruh masyarakat. Lah ini, malah bilang tidak usah pakai masker. Di China, orang yang keluar rumah tidak pakai masker dikejar-kejar sampai dipukuli oleh tentara di sana, dianggap membangkang. Begitu kontrasnya dengan anjuran di sini.

Terus yang mana yang benar kalau demikian, harus pakai masker atau tidak? Entahlah, masyarakat memilih untuk menghibur diri sendiri.

Ada keterangan dari Menteri Kesehatan kita. Nadanya sih tetap berusaha untuk menenangkan. Katanya, kenapa sikap terhadap Corona ini sampai begitu heboh, tidak seperti penyakit SARS, MERS, atau virus-virus lain, yang padahal tingkat mortalitas atau kematian karena virus ini hanya 2 persen?

Jawab saya (di dalam hati sih jawabnya), “Corona jadi heboh karena dikasih nama Corona, coba dikasih nama Coro doang, pasti nggak bakal takut”..:v :v.

Menteri bilang katanya dampak Corona tingkat mortalitasnya hanya dua persen. Coba dikalikan, kalau ada yang kena sampai sejuta orang berarti bakal ada dua puluh ribu orang yang akan meninggal. Persentasenya sedikit, tapi kalau lihat jumlahnya menjadi banyak. Itu namanya menyederhanakan permasalahan.

Simplifikasi atas suatu masalah itu tandanya untuk menghindari suatu hal, atau untuk menutupi suatu kelemahan. Tak perlu begitu padahal. Woles saja pak. Kita semua woles kok, kenapa bapak yang repot.

Apa dampak dari itu semua? Saya kemarin pulang dari Kendari, saya lihat hampir separuh orang di pesawat pakai masker. Itu tandanya apa? Itu tandanya masyarakat tidak percaya dengan keterangan dari pemerintah. Mereka memilih untuk bersikap berlawanan dengan memakai masker. Maka, masker pun menjadi langka.

Polisi bahkan menjual barang sitaan masker dengan harga murah. Logikanya, kalau memang masker tidak perlu, tidak perlu juga dong begitu. Ini ambigu jadinya.

Apalagi Wapres bilang, sebelum ada penduduk kita yang kena positif Corona, katanya begini “Kita tidak terkena Corona berkat doa qunut”. Pernyataan ini blunder. Berdampak pada keyakinan kita yang paling mendasar. Jika kemudian ada yang terdampak Corona, pertanyaan selanjutnya: apakah doa qunut itu sudah tidak manjur lagi?

Baca Juga: Papua Berani Berlakukan Lockdown Sendiri

Lebih jauh, kita jadi mempertanyakan, peran Tuhan dalam masalah ini apa. Apakah ini azab, teguran, atau apa? Terlalu jauh jika berpikir ke arah itu.

Kita semua berdoa, tidak ada urusan dengan dikabulkan atau tidak, itu adalah wewenang dan hak Tuhan, agar virus Corona ini segera berakhir. Jika berkelanjutan sampai setahun, sepertinya akan terjadi kekacauan-kekacauan hingga resesi ekonomi di seluruh dunia. Mudah-mudahan tidak terjadi. Amiiin YRA.*

Harja Saputra

Blogger | Serverholic | Empat Anak | Satu Istri | Kontak: me@harjasaputra.com

Share