Ini bukan tentang politik, tetapi tentang satu hal mendasar dalam pemahaman keagamaan. Pernyataan lugas, tegas, menggebu-gebu dari Nusron Wahid di ILC mengenai metode tafsir menarik untuk ditelisik lebih jauh validitasnya. Inti dari statement itu sesungguhnya adalah tema filsafat yang berat, yaitu tentang Metode Hermeneutika, berurusan dengan “Teks Kitab Suci” (statemen lengkap Nusron dapat dilihat di Link youtube: https://youtu.be/nN8wZdC3v0M).
Pertanyaan mendasarnya: benarkah hanya Allah dan Rasul yang mengetahui maksud dari ayat-ayat yang ada di kitab suci? Jawabannya bisa iya bisa tidak.
Dalam memahami ayat al-Quran atau kitab suci yang lain, bahkan teks secara umum, ada dua pembagian teks: teks yang disampaikan dengan kalimat jelas dan teks yang disampaikan dengan kalimat yang membutuhkan penjelasan lagi. Itu berlaku dalam teks apapun, bahkan dalam ujaran manusia pun bisa digolongkan sebagai teks. Teks ketika disampaikan oleh si pengujar kepada si pendengar menimbulkan suatu makna. Makna itulah yang disebut konteks.
Konteks yang dipahami oleh si pendengar atau pembaca tergantung dari kalimat yang disampaikan oleh si pengujar. Kalimat dalam teks adalah suatu tanda (sign). ketika saya misalnya mengatakan, “makan buah apel itu!”, sambil menunjuk ke buah apel yang ada di hadapan saya, maka orang yang disuruh akan pasti memahami maksud dari ucapan saya. Ini kalimat jelas karena menggunakan teks yang tidak membutuhkan penjelasan lagi.
Begitu juga dalam teks kitab suci. Teks dalam kitab suci pun, khususnya dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum (muhkamat), umumnya disampaikan dengan kalimat jelas. Agar mudah dipahami. Ada juga teks yang memerlukan penjelasan lagi dari sumber lain (mutasyabihat).
Ada permasalahan epistemologis yang akut sesungguhnya dalam statemen Nusron. Kalau hanya Tuhan dan Nabi yang mengetahui maksud dari ayat-ayat al-Quran, lantas untuk apa kitab suci itu diturunkan?? Bukankah kitab suci diturunkan untuk diikuti oleh manusia? Jika manusia tidak mampu memahami maksud dari kitab suci, tetapi wajib untuk mengimani dan mengikutinya, ini menjadi sangat aneh. Terjadi hal yang kontradiktif di dalamnya.
Permasalahan tentang ini sesungguhnya telah menjadi perdebatan lama. Permasalahan intinya, jika kita tidak bisa secara utuh memahami dari suatu teks, maka akan runtuh semua peradaban ini. Peradaban ini terbangun justru bukan dari “ketidakpastian atas pemahaman suatu teks”, melainkan dari adanya “kepastian dalam pemahaman dari suatu teks”. Tidak akan ada penemuan, tidak akan ada tindakan, tidak akan ada apapun yang dilakukan oleh manusia, jika manusia tidak bisa memahami pasti dari suatu teks. Penemuan terjadi karena ada pemahaman yang sama dari suatu teks.
Ketika seorang guru menyampaikan pelajaran, maka murid menerima itu. Pasti ada yang memahami, dan memang ada juga yang tidak memahaminya. Tetapi bukan berarti pasti murid tidak akan memahami apa yang disampaikan guru. Jika semua orang tidak bisa memahami suatu teks, dari sumber apapun itu, lantas untuk apa kita sekolah? Jangan sekolah saja sekalian, toh kita tidak akan mampu memahami apapun dari apa yang disampaikan guru.
Ada konsekuensi fundamental dari pernyataan Nusron. Ketika kita ibadah dari hasil pemahaman yang disampaikan guru, orang tua, maupun dari pemahaman terhadap kitab suci, untuk apa ibadah itu? Sia-sia semua itu. Tidak usah kita ibadah sekalian, karena kita tidak mungkin memahami maksud dari teks kitab suci. Tidak usah juga kita cape-cape membaca kitab suci toh kita tidak mungkin mampu memahami maksud dari kitab suci itu.
Tidak saudara-saudara. Memang, tidak semua ayat kitab suci bisa dipahami semua isinya oleh semua manusia, karena ada teks yang membutuhkan penjelasan dari sumber lain. Tetapi, bukan berarti semua teks kitab suci tidak akan mampu dipahami oleh manusia.
Seperti diungkapkan dalam suatu hadits Qudsi, bahwa umat manusia diberikan dua Nabi, nabi pertama adalah dalam sosok manusia (Nabi atau Rasul) dan nabi keduanya adalah nalar atau akal. Kedua nabi itu memberikan kita sumber pengetahuan. Apa yang disampaikan oleh Nabi jenis pertama pasti diterima oleh akal dan pasti sesuai dengan akal. Teks kitab suci pasti dipahami inti maksudnya oleh Nabi, dan manusia biasa pun pasti mampu memahami itu. Jika tidak mampu, untuk apa manusia diciptakan.
Akal Nabi dan akal manusia biasa itu sama. Yang beda adalah masalah digunakan atau tidak akal itu. Manusia biasa, di luar Nabi, punya kesempatan untuk sama tingkatannya dengan Nabi dalam memahami suatu teks. Ada metode-metode tersendiri untuk ke arah situ. Bukan berarti mustahil atau tidak mungkin. Manusia sempurna di luar Nabi itu ada bukan tidak ada, meskipun jarang dan banyak sekali syarat-syarat untuk ke arah sana, tetapi secara logis dan rasional menjadi manusia sempurna yang dapat memahami jelas makna dari kitab suci itu sangat mungkin.
Manusia biasa pasti mampu memahami suatu teks dan pasti mampu memahami maksud dari teks ayat kitab suci yang menggunakan kalimat jelas. Dan pasti mampu juga memahami suatu teks yang menggunakan kalimat yang membutuhkan penafsiran dengan catatan harus banyak membaca sumber-sumber lain atau dengan metode-metode khusus. Karena kita dibekali oleh Tuhan akal yang fungsinya memang untuk memahami teks. Manusia itu makhluk luar biasa, karena hanya manusia yang diberikan akal oleh Tuhan. Manusia bukan hewan yang menerima begitu saja. Jika manusia tidak mampu memahami suatu teks, lantas apa bedanya kita dengan hewan??**[harjasaputra]
Saya barangkali tidak seharusnyamembaca tulisan ini …karena ilmu saya gak nyampe , sayang sekali … pasti tulisan ini bagus banget.
Ada ygmengusik saya dalam membaca …alinia terakhir…. Manusia bukan hewan…….. jika manusia tidak mampu memahami suatu tex……. dst
Tidak semua orang bisa memahami tex…. malah banyak…. salah satu ternyata NW bukan begitu?