“Singkirkan pertimbangan iman dan moral jika itu akan menghalangi untuk meraih kepentingan, dan dengannya kekuasaanmu akan terancam” (Niccolo Machiavelli).
Petuah sakti dari Machiaveli di atas sangat relevan dengan kondisi saat ini, bahkan tanpa disadari sejalan dengan–bisa jadi–apa yang ada di benak anggota DPR, DPD, dan KPK yang sedang berseteru saat ini. DPR sebagai basis keterwakilan rakyat dalam sistem demokrasi merupakan sumber kekuatan bagi tegaknya sistem demokrasi. Namun, kadang terjebak pada pertarungan kepentingan. Apalagi DPD yang secara konstitusi tidak memiliki peran besar dibanding DPR ikut-ikutan dalam pusaran konflik ini.
Alih-alih membela kepentingan rakyat, padahal jika diamati secara serius dari berbagai kasus, tindakan DPD dengan membentuk Pos Pengaduan Mafia Anggaran tak lebih dari upaya “memukul” telak pihak DPR untuk tidak mengusik eksistensinya. Kenapa demikian? DPR sering menyuarakan untuk mengkaji ulang Undang-undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), salah satunya untuk mengkaji keberadaan dan fungsi DPD yang saat ini bisa dikatakan–sebagaimana diutarakan oleh Ketua DPR–“kurang kerjaan”. Secara kompensasi gaji tidak jauh beda dengan anggota DPR, rumah aspirasi dikabulkan, jalan-jalan ke luar negeri tidak ada yang menyorot, tetapi miskin kinerja. Itu karena DPD tidak memiliki fungsi seperti yang dimiliki oleh DPR yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi DPD hanya memberikan masukan kepada DPR. Ini jelas memberikan dampak “kecemburuan”. Maka, DPD sebagai pihak yang merasa eksistensinya terancam bergerak untuk unjuk gigi dengan memukul pihak DPR melalui gerakan populis untuk memperjuangkan kepentingannya. Meskipun pihak Ketua DPD sendiri mengatakan bahwa inisiatif pembentukan Pos Pengaduan Mafia Anggaran adalah inisiatif pribadi dari wakil Ketua DPD, tetapi berkantornya di gedung DPD (tepat di samping gedung DPR), dengannya walaupun dikatakan itu inisiatif pribadi tetapi diberikan privilege sehingga ini adalah bagian dari “politik kepentingan”, gerakan Machiavellian” dari anggota DPD.
Anggota DPR, dengan tanpa maksud membuat generalisasi, pun ikut dalam pusaran politik Machiavellian ini. Isu-isu diarahkan untuk membentuk atau mendukung kepentingan tertentu. Isu pembubaran KPK, misalnya, adalah salah satu contoh yang riil. DPR memang memiliki hak imunitas untuk berbicara apapun. Selain itu memiliki fungsi pengawasan untuk berbicara–seakan-akan–bagian dari mengawasi KPK, tetapi nuansa kepentingan sangat kental dalam wacana ini.
KPK pun sama-sama larut dalam pusaran ini. Pembelaan yang dilontarkan oleh Humas KPK misalnya yang mengatakan sangat menyesalkan dengan perkataan anggota DPR terkait pembubaran KPK, dikatakan olehnya sebagai tindakan arogan, menyakiti nurani rakyat yang memilihnya, dan ungkapan lain (disampaikan dalam wawancara dengan Pro3 RRI, 04 Okt 2011, pkl. 08.00-09.00).
Politik memang susah ditebak arahnya ke mana, karena jika gampang ditebak maka sudah bukan politik lagi namanya. Ibarat main krambol. Memantulkan bola ke satu sudut padahal tujuannya untuk menembak bola di sudut lain. Kita tidak tahu persis apa target dari semua realitas politik yang ditunjukkan oleh para politisi. Masyarakat hanya sebagai penonton, sesekali menyoraki, bertepuk tangan, terhadap arena pergulatan yang sedang terjadi.
Machiavelli sebagai kiblat dari norma-norma politik kepentingan nampaknya dapat dilihat secara nyata dalam panggung politik kita. Atau bisa juga mengikut ke gaya politiknya Raja Phillip dari Macedonia yang terkenal licik. Ia punya motto, “tunjukkan sedikit kebodohan, biarkan lawan seakan merasa menang, setelah itu bermanuverlah. Mari kita gempur mereka di malam hari di saat lawan sedang berpesta”.**[harja saputra]